MAKALAH
SEJARAH NASIONAL INDONESIA IV
“MASA REVOLUSI KEMERDEKAAN 1945-1950”
(Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia IV)
(Dosen
Pengampu Mata Kuliah Drs. Kayan Swastika, M. Si)
Disusun Oleh :
Lebdo
Aji Wasito (130210302005)
Sihatul Cismifah (130210302019)
Meinda
Ratih Siwi H. (130210302055)
Irfan
Bayu Anggara (130210302059)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis
haturkan kepada Allah SWT atas segala
limpahan karuniaNya sehingga makalah dengan judul “Masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1950” dapat terselesaikan dengan baik dan tepat
waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia IV, dengan dosen pengampu Drs. Kayan
Swastika, M. Si.
Makalah Sejarah Nasional
Indonesia IV tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu, terimakasih yang sebesar-besarnya
penulis haturkan pada berbagai pihak yang ikut andil dalam penyusunan makalah.
Penulis menyadari
dalam makalah jauh dari kata sempurna, oleh karena itu dengan kerendahan hati,
penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah.
Akhirnya, penulis berharap semoga makalah Sejarah Nasional Indonesia IV dengan judul “Masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1950” dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Jember, Maret 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1
Latar
Belakang............................................................................................... 1
1.2
Rumusan
Masalah.......................................................................................... 2
1.3
Tujuan
Penulisan............................................................................................ 2
1.4
Manfaat
Penulisan......................................................................................... 2
BAB II PEMABAHASAN................................................................................ 3
2.1
Proklamasi
Kemerdekaan.............................................................................. 3
2.2 Rapat-Rapat PPKI......................................................................................... 8
2.3 Perjuangan Awal Merebut dan Menegakkan Kedaulatan
............................................................................................................................. 17
2.3.1Merebut Kekuasaan............................................................................... 17
2.3.2 Pertempuran Surabaya.......................................................................... 22
2.3.3 Pertempuran
Ambarawa........................................................................ 24
2.3.4 Pertempuran
Medan Area...................................................................... 25
2.4 Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan................................................. 26
2.4.1 Aktivitas Diplomasi Indonesia di Dunia Internasional untuk Mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia 26
2.4.2 Agresi Militer Pertama.......................................................................... 29
2.4.3 Agresi Militer Kedua ........................................................................... 32
BAB III SIMPULAN........................................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1.
Latar Belakang
Indonesia dahulu adalah
wilayah yang kaya akan rempah-rempah. Karena kekayaan rempah-rempah tersebut
banyak sekali negara-negara dari Eropa mulai datang ke wilayah Indonesia untuk
membeli rempah-rempah. Negara-negara Eropa yang awalnya datang untuk membeli
rempah-rempah lama kelamaan mulai mencoba untuk menjajah daerah-daerah yang
memiliki banyak sekali rempah-rempah dan daerah yang strategis.
Negara-negara Eropa
yang pernah menjajah indonesia seperti Portugis dan Belanda. Di antara
negara-negara tersebut negara Belanda yang paling lama menjajah Indonesia.
Dalam masa penjajahan bangsa Belanda rakyat Indonesia hidup sengsara. Banyak
sekalai perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan oleh pahlawan-pahlawan
kemerdekaan Indonesia. Indonesia akhirnya dapat memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 17 agustus 1945.
Kemerdekaan itu tidak
lantas membuat Indonesia terbebas dari belenggu masalah, Indonesia masih harus
menghadapi berbagai perlawanan yg datang dari bekas penjajah yang tidak
mengakui kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebersatuan dan
keutuhan Negara Indonesia yang merdeka diuji dengan terjadinya berbagai
peristiwa maupun pergolakan yang terjadi
berbagai wilayah di Indonesia. Diantaranya Indonesia harus mengalami masa
perang dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan atau yang lebih dikenal dengan perang
kemerdekan yang terjadi pada tahun 1945-1949.
Oleh sebab tersebut,
makalah ini akan membahas tentang Indonesia pada awal proklamasi sampai perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Negara Indoneisa.
1. 2.
Rumusan Masalah
1. 2.
1.
Bagaimana
peristiwa terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia ?
1. 2.
2.
Bagaimana
rapat-rapat PPKI ?
1. 2.
3.
Bagaimana
perjuangan awal merebut dan menegakkan kemerdekaan ?
1. 2.
4.
Bagaimana
perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia ?
1. 3.
Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan
yang ada, maka tujuan penulisan makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. 3.
1.
Untuk
memahami dan mengetahuai bagaimana terjadinya peristiwa proklamasi kemerdekaan.
1. 3.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana rapat-rapat PPKI.
1. 3.
3.
Untuk
mengetahui bagaimana perjuangan awal merebut dan menegakkan kemerdekaan.
1. 3.
4.
Untuk
mengetahui perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara Indoneisa.
1. 4.
Manfaat
Dengan
makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. 4. 1. Bagi
pemakalah, makalah ini merupakan media untuk memperdalam ilmu, khususnya ilmu
sejarah.
1. 4. 2. Bagi
mahasiswa calon guru sejarah, makalah ini di harapkan akan memberikan tambahan
pengetahuan untuk lebih memperkaya materi sejarah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Proklamasi Kemerdekaan
Pada tanggal 7 Agustus 1945 dibentuklah PPKI sesuai dengan
keputusan jendral besar Terauchi. Anggotanya sekitar 20 orang antara lain Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan dr. Radjiman Wediodiningrat. Dan yang ditunjuk
sebagai ketua adalah Ir. Soekarno, dengan wakilnya Drs. Moh. Hatta.
Pada tanggal 9 Agustus 1945 ketiga tokoh tersebut berangkat menuju
Dalat Vietnam (markas besar jendral Terauchi). Dalam pertemuan itu , yaitu pada
tanggal 12 Agustus 1945 jendral Besar Terauchi memberi keputusan untuk memberi kemerdekaan bagi
Indonesia. Pada tanggal 14 Agustus 1945 mereka kembali ke Indonesia.
Pada tanggal 15
Agustus Jepang kalah dan menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Berita tersebut
cepat menyebar di Indonesia terutama kaum muda, sehingga menimbulkan niat dari
pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Niat tersebut disampaikan
oleh Wikana dan Darwis (anggota golongan muda) kepada Ir. Soekarno untuk
melaksanakan proklamasi yaitu pada tanggal 16 Agustus 1945, tetapi Ir. Soekarno
menolak usulan tersebut dan masih ingin mendiskusiakn dengan anggota PPKI yang
lain.
Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa dimulai dari
"penculikan" yang dilakukan oleh sejumlah pemuda (a.l. Soekarni, Wikana
danChaerul Saleh dari perkumpulan "Menteng 31" terhadap Soekarno dan
Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00. WIB,
Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak
agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,sampai dengan
terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta
serta Mr.Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan
dilaksanakan.
Adanya perbedaan
paham tersebut mendorong golongan muda untuk membawa Ir. Soekarno dan Moh.
Hatta keluar kota, hal itu dilakukan karena mereka khawatir Soekarno dan Hatta
mendapatkan pengaruh dari Jepang sehingga kemerdekaan menjadi tertunda.
Akhirnya pada tanggal 16 Agustus pagi Soekarno dan Hatta dibawa ke
Rengasdengklok sebuah kota kewedanaan di Kabupaten Karawang. Tempat itu dipilih
karena keberadaanya terpencil dan mudah dideteksi apabila ada pergerakan
tentara Jepang ke Rengasdengklok, baik dari arah Jakarta maupun Bandung. Dengan
dalih melindungi mereka jika meletus suatu pemberontakan Peta dan Heiho, maksud
dari penculikan tersebut adalah untuk menekan Soekarno dan Hatta agar segera
melaksanakan proklamasi. Dalam peristiwa tersebut akhirnya Soekarno bersedia
mengadakan proklamasi setelah kembali ke Jakarta.
Sementara itu di Jakarta terjadi kesepakatan antara Wikana dengan
Akhmad Soebardjo bahwa proklamasi kemerdekaan harus dilaksanakan di Jakarta,
dan Laksamana Tadashi Maeda bersedia untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat
perumusan teks proklamasi.
Sesampainya di Jakarta rombongan PPKI menuju rumah Laksamana Maeda
untuk merumuskan teks proklamasi. Rumusan tersebut dimulai pukul 03.00 dan
berjalan dengan lancar ,Soekarno lah
yang menulis teks proklamasi tersebut dan disempurnakan oleh Moh. Hatta dan
Akhmad Soebardjo. Dan atas usulan sukarni, maka teks proklamasi tresebut
ditanda tangani oleh Soekarno dan
Moh. Hatta. Teks tersebut yang semula hanya tulisan tangan Soekarno, diketik
kembali oleh Sayuti Melik dengan sedikit perubahan. Ada tiga perubahan yang
terdapat pada naskah bersih itu, yakni kata – kata “tempoh” diganti menjadi “tempo”, sedangkan “wakil –
wakil bangsa Indonesia” pada bagian akhir diganti dengan “Atas nama Bangsa
Indonesia”.
Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan. Sebagai gantinya
pemerintah pendudukan Jepang membentuk PPKI (Dokuritsu Junbi Inkai). Sebanyak
21 anggota PPKI yang terpilih tidak hanya terbatas pada wakil-wakil dari Jawa
yang berada di bawah pemerintahan Tentara Keenambelas, tetapi juga dari
berbagai pulau, yaitu 12 wakil dari Jawa, 3 wakil dari Sumatra, 2 wakil dari
Sulawesi, seorang dari Kalimantan, seorang dari Sunda Kecil (Nusa Tenggara),
seorang dari Maluku, dan seorang lagi dari golongan penduduk Cina. Ir. Soekarno
ditunjuk sebagai ketua PPKI dan Drs. Moh. Hatta ditunjuk sebagai wakil
ketuanya, sedangkan Mr. Ahmad Soebardjo ditunjuk sebagai penasihatnya.
Kepada para anggota PPKI, Gunseikan Mayor Jenderal Yamamoto
menegaskan bahwa para anggota PPKI bukan hanya dipilih oleh pejabat di
lingkungan Tentara Keenambelas, tetapi juga oleh Jenderal Besar Terauci sendiri
yang menjadi penguasa perang tertinggi di seluruh Asia Tenggara.
Pada pukul 05.00 (waktu pada zaman Jepang) tanggal 17 Agustus 1945,
anggota PPKI dan tokoh-tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, pulang
kerumah masing-masing setelah berhasil merumuskan teks Proklamasi. Mereka
sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan di rumah Ir. Soekarno di Jalan
Pegangsaan Timur 56 (Sekarang Jalan Proklamasi zaman Jepang) atau pukul 10.00
WIB sekarang. Sebelum pulang, Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang
bekerja di lembaga pers dan kantor berita, terutama B.M. Diah, untuk
memperbanyak teks Proklamasi dan menyiarkan ke seluruh dunia.
Para pemuda
langsung melakukan kegiatan-kegiatan membagi perkejaan dalam kelompok-kelompok.
Tiap-tiap kelompok mengirimkan kurir untuk memberitahukan kepada masyarakat
bahwa saat Proklamasi telah tiba.
Kelompok Sukarni, misalnya yang bermarkas di Jalan Bogor Lama (sekarang
Jalan Dr. Sahardjo, S.H.) melakukan rapat di Kepu (Kemayoran), kemudian pindah
ke Defensielijin van de Bosch (sekarang Jalan Bungur Besar) untuk mengatur
penyiaran berita Proklamasi. Semua alat komunikasi yang ada akan dipergunakan
untuk maksud itu, seperti pamphlet, pengeras suara, dan mobil-mobilan akan
dikerahkan ke segenap penjuru kota. Diusahakan juga pengarahan massa untuk
mendengarkan pembacaan Proklamasi di Pegangsaan Timur 56.
Ribuan teks
Proklamasi berhasil di cetak dengan roneo dan segera disebarkan ke perbagai
penjuru kota, di tempelkan di tempat-tempat yang mudah dilihat oleh public.
Juga, secara beranting berita itu disampaikan ke luar kota Jakarta.
Pada pagi hari
tanggal 17 Agustus 1945,
barisan pemuda datang berbondong-bondong menuju lapangan Ikada, di sudut
tenggara Lapangan Monumen Nasional (monas) yang sekarang. Ternyata, Lapangan
Ikada sudah dijaga oleh pasukan Jepang yang bersenjata lengkap. Rupanya Jepang
sudah mengetahui kegiatan para pemuda, dan arena itu mereka berusaha
menghalanginya.
Para pemuda datang
ke Lapangan Ikada berdasarkan informasi dari mulut ke mulut bahwa Proklamasi
akan diucapkan ditempat tersebut. Mereka tidak megetahui keputusan terakhir
yang diambil oleh PPKI bahwa pemimpin Barisan Pelopor pun, tidak mengetahuinya.
Pagi itu ia berangkat ke Lapangan Ikada. Setelah melihat lapangan itu dijaga
oleh pasukan Jepang, ia menemui dr. Muwardi, Kepala Keamanan Ir. Soekarno. Dari
dr. Muwardi ia mendapat penjelasan bahwa Proklamasi akan diucapkan di
Pengangsaan Timur 56. Soedino kembali ke Ikada untuk memberitahukan hal itu
kepada anak buahnya.
Pada pagi itu
pekarang rumah Ir. Soekarno sudah dipadati oleh sejumlah massa pemuda. Untuk
menjaga keamanan, dr. Muwardi meminta kepada Cudanco Latief
Hendraningrat untuk menugasi beberapa orang anak buahnya berjaga-jaga di
sekitar rumah Ir. Soekarno. Sesuai dengan permintaan itu, Latief menempatkan
beberapa orang prajurit Peta berjaga-jaga disekitar jalan kereta api yang
membujur di belakang rumah itu. Di samping itu, di ksatrian mereka di Jaga
Monyet disiagakan pula pasukan yang dipimpin oleh Shodanco Arifin
Abdurrahman.
Sementara itu,
Wakil Wali Kota Suwirjo memerintahkan Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan
yang diperlukan, yaitu mikrofon dan beberapa pengeras suara. Wilopo dan
Nyonoprawoto berhasil meminjam peralatan tersebut dari Gunawan, pemilik took
radio Satria di salemba Tengah 24. Gunawan juga mengirimkan seorang pemuda
kepercayaannya untuk melayani pengunaannya.
Sudiro (yang
menagkap sebagai sekretaris Ir. Soekarno) memerintahkan S. Suhud Komandan
Pengawal rumah Ir. Soekarno untuk menyiapkan satu tiang untuk menggerek
bendera. Karena situasi tegang, Suhd tidak ingat bahwa di depan rumah masih ada
dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan dan salah satu diantaranya
dapat dipindahkan. Malahan, ia mencari sebatang bamboo yang berada di belakang
rumah, kemudian dibersihkan dan diberi tali, lalu ditanam beberapa langkah dari
teras. Bendera yang akan dikibarkan ialah bendera yang dijahit oleh Nyonya
Fatmawati Soekarno. Bentuk dan ukuran bendera yang dijahit oleh standar karena
kainnya berukuran tidak sempurna.
Sebagaimana yang
telah disepakati semula, paraanggota PPKI menjelang pukul 10.30 telah
berdatangan ke Pasangan Timur. Di antara mereka adalah dr. Boentaran
Martoatmodjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. Latuharhary, Abikoesno Tjokrosujoso, Anwar
Tjokroaminoto, Harsono Tjokrominoto, Oto Iskandar Dinata, Ki Hajar Dewantara,
Sam Ratu Langie, K.H. Mas Mansur, Mr. Sartono, Sajuti Melik, Pandu Kartawiguna,
M. Tabrani, dr. Muwardi dan A.G. Pringgodigjo.
Rangkaian acara
yang akan dilaksanakan dalam upacara itu adalah pembacaan Proklamasi,
pengibaran bendera Merah Putih, dan sambutan Wali Kota Suwirjo dan dr. Muwardi.
Ketika waktu mendekati pukul 10.00, sedangkan acara belum jua dimulai, para
pemuda yang berdiri menunggu sejak pagi mulai tidak sabar. Mereka yang diliputi
suasan tegang berkeinginan keras agar pembacaan Proklamasi segera dilakukan.
Mereka mendesak dr. Muwardi agar segera mengingatkan Bung Karno bahwa hari
telah siang. Karena desakan itu, dr Muwardi memberanikan diri menemui Bung
Karno yang masih ada didalam kamar dan menyampaikan keinginan para pemuda. Bung
Karno menolak membacakan Proklamasi sendiri tanpa tanpa hadirnya Hatta. Muwardi
terus mendesak. Ia menyatakan bahwa hal itu lebih baik dikerjakan oleh Bung Karno
sendiri saja tanpa kehadiran Bung Hatta sebab naskah Proklamasi sudah
ditandatangani berdua. Bung Karno menjawab dengan nada marah. “Saya tidak akan
membacakan Proklamasi kalau Hatta tidak ada. Kalau Mas Muwardi tidak mau
menunggu, silakan membaca Proklamasi sendiri”
Lima menit sebelum
acara dimulai, Hatta datang. Ia langsung menuju ke kamar Soekarno. Beberapa
menit sebelum pukul 10.00 kedua pemimpin itu keluar bersama-sama menuju tempat
upacara, diiringi oleh Nyonya Fatmawati Soekarno. Upacara berlangsung tanpa
protocol. Segera Latief memberi
aba-aba kepada seluruh barisan pemuda, yang telah menunggu sejak pagi. Semua
berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief mempersilakan Bung Karno dan Bung
Hatta maju beberapa langkah dari tempatnya semula. Soekarno mendekati mikrofon.
Sebelum membacakan teks Proklamasi, Bung Karno menyampaikan pidato singkat.
Dikatakannya bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sudah
berlangsung puluhan, bahkan ratusan tahun, dan mengalami gelombang naik dan turun.
Mengenai perjuangan dalam Zaman Jepang dikatakannya, “Tampaknya saja kita
menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakikatnya tetap kita menyusun
tenaga kita sendiri.” Pada bagian akhir pidato singkat itu Bung Karno
mengatakan, “Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangannya sendiri,
akan dapat berdiri dengan kuatnya.”
Sesudah
menyampaikan pidato singkat itu, Bung Karno dengan di damping Bung Hatta
membacakan teks Proklamasi.
2.2 Rapat-Rapat PPKI
Kesibukan para
pemimpin sesudah proklamasi adalah menyusun tatanan kehidupan kenegaraan.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan rapat pada tanggal 18
Agustus 1945, yaitu rapat yang pertama sesudah Proklamasi. Memilih
Presiden dan wakil presiden, yaitu Soekarno sebagi presiden dan Moh. Hatta
sebagia wakilnya, serta pembentukan Komite Nasional guna membantu presiden. Soekarno-Hatta menunjuk Sembilan orang sebagai panitia
kecil yang beranggotakan Oto Iskandar Dinata, Subardjo, Sajuti Melik, Iwa
Kusumasumantri, Wiranata Kusuma, Dr. Amir, A.A. Hamidhan, Dr. Ratulangi, dan
Ketut Pudja. Rapat diadakan
di Pejambon di Gedung Departemen Luar Negeri sekarang. Sebelum rapat dimulai,
Soekarno-Hatta meminta Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wachid Hasyim, Mr. Kasman
Singodimejdo, dan Mr. Teuku Mohammad Hasan, untuk membahas rancangan pembukaan
undang-undang dasar, yang dibuat pada 22 Juni 1945, khususnya mengenai kalimat
“Keutuhan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”,
karena pemeluk agama lain merasa keberatan terhadap kalimat tersebut. Adanya
keberatan itu diketahui Hatta sore tanggal 17 Agustus dari seorang perwira Kaigun (Angkatan
Laut Jepang). Perwira ini mengatakan bahwa di cantumkannya kata-kata “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” akan menyebabkan
penganut agama lain di daerah Indonesia Timur merasa didiskriminasikan dan
karena itu mereka lebih suka berdiri di luar RI.
Dengan di pimpin
oleh Hatta, tokoh-tokoh Islam tersebut membahas masalah yang cukup sensitif
itu. Di antara tokoh-tokoh ini, Ki Bagus Hadikusomo merupakan tokoh-tokoh
berpaham keras “keras”, artinya ingin tetap mempertahankan tujuh kata tersebut.
Sikap keras Hadikusumo dapat dilunakkan oleh T.M. Hassan dengan mengemukakan
argumentasi bahwa persatuan bangsa lebih penting daripada kepentingan golongan.
Akhirnya dalam waktu lima belas menit dicapat kata sepakat untuk mengganti
tujuh kata tersebut dengan “Yang Maha Esa”, sehingga lengkapnya berbunyi “ Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Kesepakatan yang
dicapai oleh tokoh-tokoh Islam itu memperlancar pembicaraan dalam rapat pleno
PPKI sebab bila dibicarakan dalam rapat pleno, rapat akan memakan waktu yang
lama dan berlarut-larut. Setelah bertukar pikiran itu rapat pleno PPKI dibuka
pada pukul 11.30 di bawah pimpinan Soekarno dan Hatta. Rapat dihadiri oleh 27
orang anggota. Soekarno membuka rapat dengan pidato singkat. Ia mengingatkan
anggota PPKI bahwa mereka berada dalam zaman yang beralih secepat kilat dank
arena itu harus bertindak kilat pula. Pada akhir pidato itu dikatakannya,
“Janganlah kita terlalu tertarik oleh kehendak yang kecil-kecil, tetapi marilah
kita menurut garis besar saja yang mengandung sejarah.”
Rapat pertama ini
berlangsung dengan lancar. Pembahasan masalah rancangan pembukaan dan
undang-undang dasar yang telah disiapkan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan, berhasil dibahas dalam tempo kurang dari dua jam, disepakati
bersama rancangan Pembukaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Sidang diskros pada pukul 12.50, dan akan dimulai lagi pukul 13.15. Pada awal
pembukaan siding kedua ini Soekarno mengumumkan enam orang anggota PPKI, yaitu
Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Mr. Kasman, Sajuti Melik, Mr. Iwa
Kusumasumantri, dan Mr. Subardjo.
Sebelum meningkat ke acara baru, yaitu pemilihan presiden dan wakil
presiden, Soekarno meminta agara disahkan Pasal III Aturan Peralihan. Kemudian
Ota Iskandar Dinata mengusulkan agar pemilihan presiden dan wakil presiden
dilakukan dengan aklamasi. Ia mengajukan calon Bung Karno sebagai presiden dan
Bung Hatta sebagai wakil presiden. Semua hadirin menerima dengan aklamasi
sambil menyaksikan lagu Indonesia Raya.
Setelah acara
pemilihan presiden dan wakil presiden, siding meneruskan acara membahas
pasal-pasal rancangan Aturan Peralihan dan Aturan Tambahn. Dengan
perubahan-perubahan kecil seluruh rancangan tersebut disepakati oleh sidang.
Presiden Soekarno menutup acara pembahasan itu dengan menyatakan
bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta peratuhan peralihan
telah sah ditetapkan.
Dengan demikian,
pada tanggal 8 Agustus 1945 bangsa Indonesia memperoleh landasan kehidupan
bernegara yang meliputi dasar Negara yakni sebuah undang-undang dasar yang kini
dikenal sebagai Undang-Undang Dasar ’45. Pembentukan Undang-Undang Dasar ’45
itu mengandung dasar Negara yang kita kenal dengan “Pancasila”. Sila-sila itu
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawarah/perwakilan,
dan Keadlan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan pancasila ini dari
rumusan yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 19945 yang disahkan
oleh PPKI tanggal 18 Agustus, yang merupakan sistesis dari rumusan yang
diajukan oleh Ir. Soekarno, Muhammad Yamin, dan Prof. Supomo pada sidang
pertama Dokuritsu Jumbi Cosokaiserta oleh panitia Sembilan tanggal 22
Juni sama 1945.
Sebelum rapat PPKI
pertama ini di tutup, Presiden Soekarno menunjuk Sembilan orang sebagai anggota
Panitia Kecil yang ditugasi menyusun rancangan yang berisi hal-hal yang meminta
perhatian mendesak, yakni pembagian wilayah Negara, kepolisian, tentara
kebangsaan, dan perekonomian. Mereka adalah Oto Iskandar Dinata, Subardjo,
Sajuti Melik, Iwa Kusumasumantri, Wiranatakusumah, Dr. Amir, A.A. Hamidhan, Dr.
Ratulangi, dan Ketut Puja.
Rapat dilanjutkan
pada hari Minggu tanggal 19 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi. Acara pertama adalah
membahas hasil kerja Panitia Kecil yang dipimpin oleh Oto Iskandar Dinata.
Sebelum acara dimulai Presiden Soekarno menunjuk Mr. Ahmad Subardjo
Kartohadikusumo, dan Mr. Kasman untuk membentuk Panitia Kecil yang merencanakan
bentuk departemen, tetapi bukan personaliannya.
Hasil Panitia
Kecil Ota Iskandar Dinata kemudian dibahas dan menghasilkan keputusan:
a.
Pembagian
Wilayah: terdiri atas 8 provinsi beserta calon gubernurnya, yaitu:
Jawa Barat;
Jawa Tengah;
JawaTimur;
Borneo (Kalimantan), calon Ir. Moh. Noor;
Sulawesi, calon Dr. Ratulangi;
Maluku, calon Mr. Latuharhary;
Sunda Kecil (Nusa Tenggara), calon Mr. Ketut Pudja;
Sumatra, calon Mr. T. Mohammad Hasan;
b.
Adanya
Komite Nasional (Daerah).
Kemudian Panitia Kecil yang dipimpin oleh Mr. Ahamad Subardjo menyampaikan
laporannya. Diusulkan oleh panitia itu adanya 12 kementerian. Setelah dibahas,
siding memutusnya adanya:
1.
Departemen
Dalam Negeri;
2.
Departemen
Luar Negerei;
3.
Departemen
Kehakiman;
4.
Departemen
Keuangan;
5.
Departemen
Kemakmuran;
6.
Departemen
Kesehatan;
7.
Departemen
Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan;
8.
Departemen
Sosial;
9.
Departemen
Pertahanan;
10.
Departemen
Penerangan;
11.
Departemen
Perhubungan;
12.
Departemen
Pekerjaan Umum.
Departemen urusan Agama yang diusulkan oleh Panitia Subardjo di
tolak oleh siding, sedangkan Departemen Kesejahteraan diganti namanya menjadi
Departemen Sosial. Satu Departemen Penerangan. Dalam cabinet yang di bentuk
tanggal 4 September 1945 (Kabinet Presidensial), menteri Negara hanya satu,
tetapi lima orang.
Pembahasan mengenai masalah departemen ditunda, kemudian Presiden
kembali membahas masalah tentara kebangsaan. Panitia kecil yang dipimpin oleh
Oto Iskandar Dinata mengajukan dua usul. Pertama, menolak rencana
pembelaan Negara yang disusun oleh BPUPKI sebab rencana itu, mengandung politik
perang. Dalam rencana itu antara lain di sebutkan bahwa tentara Indonesia akan dibentuk
kerja sama dengan Jepang dan dikukuhkan dalam perjanjian. Dalam bagian lain
disebutkan perlunya mengumumkan perang terhadap Amerika, Inggris, serta Belanda
dan sekutunya. Rencana ini disetujui oleh BPUPKI tanggal 16 Juli 1945. Kedua,
membubarkan tentara Peta di Jawa dan di Bali serta Lasykar Rakyat (Giyugun)
di Sumatera dengan alasan kesatuan militer ini merupakan buatan Jepang dan
kedudukannya di dunia internasional tidak berketentuan. Sebagai gantinya di
usulkan agar Presiden memanggil tokoh-tokoh yang mempunyai kemampuan militer
untuk membentuk tentara kebangsaan.
Usul tersebut diterima secara aklamasi oleh siding. Urusan
kepolisian oleh Panitia Kecil dimasukkan ke dalam Departemen Dalam Negeri.
Sesuai usul bidang, Presiden Soekarno menunjuk Abdul Kadir, Kasman
Singodimedjo, dan Ota Iskandar Dinata, untuk mempersiapkan pembentukan tentara
kebangsaan. Abdul Kadir ditunjuk sebagai ketuanya.
Pembicaraan lainnya ialah mengenai perlunya ketentraman dan segera
dimulainya perjuangan. Rapat pada siang hari tanggal 19 Agustus ditutup 14.55.
Pada waktu Presiden dan Wakil Presiden akan pulang, mereka diminta oleh
pemuda-pemuda untuk hadir pada rapat yang mereka adakan di jalan Prapatan 10.
Rapat itu dipimpin oleh Adam Malik bersama Mr. Kasman dan Ki Hadjar
Dewantara. Hadir pula disitu Sutan Sjahrir. Mereka mengharapkan agar
Soekarno-Hatta melakukan perebutan kekuasaan terhadap Jepang yang diatur dengan
cepat dan serentak. Presiden Soekarno memberikan tanggapan bahwa apa yang
mereka kehendaki tidak dapat dilakukan tergesa-tergesa. Para pemuda menolak
pendapat Presiden, yang dianggapnya berbahaya, dan merugikan bangsa Indonesia
di mata dunia. Adam Malik kemudian membacakan dekrit mengenai lahirnya Tentara
Republik Indonesia yang berasal dari bekas Peta, Heiho. Bung Karno dan
Hatta menyetujui usul pemuda tersebut, tetapi belum dapat memutuskan pada saat
itu. Rapat kemudian bubar.
Pada tanggal 19 Agustus 1945 itu dijalan Gambir Selatan (sekarang
Merdeka Selatan) No. 10, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta Mr. Sartono,
Suwirjo, Oto Iskardan Dinata, Sukarjo Wirjopranoto, dr. Buntaran. Mr. A.G.
Pringgodigdo, Sutardjo Kartohadikusumo, dan dr. Tajuluddin, berkumpul untuk
membahas siapa saja yang akan diangkat sebagai anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Disepakati anggota KNIP berjumlah 60 orang. Rapat
pertama KNIP direncankan tanggal 29 Agustus 1945 malam, bertempat di Gedung
Komidi, Jalan Pos (sekarang Gedung Kesenian) Pasar Baru, Jakarta. Rapat PPKI di
lanjutkan kembali pada tanggal 22 Agustus 1945. Dalam rapat ini diputuskan tiga
persoalan pokok yang sudah dibahas dalam rapat-rapat sebelumnya, yakni
pembentukan Komite Nasional, Partai Nasional Indonesia, dan Badan Keamanan
Rakyat.
Komite Nasional Indonesia akan dibentuk di tingkat pusat dan
tingkat daerah. Tujuan Komite, seperti dijelaskan Presiden Soekarno, antara
lain mempersatukan semua lapisan dan bidang pekerjaan agar tercapai solidaritas
dan kesatuan nasional yang erat dan utuh, membantu menerentamkan rakyat dan
melindungi keamanan serta membantu para pemimpin untuk mewujudkan cita-cita
bangsa. Di tingkat pusat, pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI), yang
kemudian dikenal dengan nama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), diresmikan
pada tanggal 22 Agustus 1945. Anggotanya berjumlah 137 orang, dan Mr. Kasman
Singodimedjo diangkat sebagai ketua dibantu oleh tiga wakil ketua, yakni
Sutardjo Kartohadikusumo (Wakil Ketua I), Mr. Johannes Latuharhary (Wakil Ketua
II), dan Adam Malik (Wakil Ketua III). Dengan terbentuknya KNIP, tugas PPKI pun
berakhir. Pembentukan KNIP dengan cepat diikuti oleh pembentukan KNI Daerah
(KNID). Sejak awal September 1945 sudah terbentuk diberbagai daerah tingkat
keresidenan sampai tingkat desa.
Dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 disebutkan bahwa Komite
Nasional adalah sebuah badan yang bertugas membantu presiden menjalankan
kekuasaan MPR, DPR, dan DPA sebelum lembaga-lembaga eksekutif. Pada tanggal 7
Oktober 1945 kelompok pemuda dalam KNIP mengajukan petisi yang ditandatangani
oleh lima puluh orang kepada Presiden Soekarno agar KNIP diberi wewenang
legislative. Berdasarkan petisi itu, pada tanggal 16 Oktober 1945 Wakil
Presiden Hatta mengeluarkan maklumat No. X yang menyatakan bahwa sebelum MPR
dan DPR terbentuk, KNIP diberi kekuasaan legislative dan ikut serta menentukan
garis-garis besar haluan Negara. Ditanyakan pula bahwa tugas sehari-hari KNIP
dijalankan oleh Badan Pekerja KNIP (BP KNIP).
Sehari kemudian, juga diatas desakan golongan pemuda dalam KNIP,
dilangsungkan pemilihan pimpinan baru. Sutan Sjahrir diangkat menjadi wakil
ketua yang sekaligus juga menjadi Ketua dan Wakil Ketua BP KNIP. Setelah
Sjahrir menjadi Perdana Mentri, kedudukannya diganti oleh Mr. Assaat yang
memegang jabatan tersebut sampai akhir tahun 1949.
Selama keberadaannya, KNIP mengadakan lima kali siding pleno.
Sidang yang “terpanas” adalah siding tanggal 25 Februari sampai 6 Maret 1947 di
Malang, berkaitan dengan penambahan jumlah anggota dalam rangka meratifikasi
hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebagian badan pembuat dan pengesah undang-undang,
KNIP menghasilkan 13 undang-undang dan 32 peraturan.
Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk pada akhir tahun
1949 dan RI menjadi bagian dalam RIS, KNIP berfungsi sebagai perlemen RI. Dalam
DPR RIS, 42 orang antara 150 anggotanya berasal lain. Mr. Assaat sebagai
Pejabat Presiden RI dan dr. A. Halim sebagai Perdana Menteri RI.
Berbeda dengan KNI yang bertahan sampai akhir Perang Kemerdekaan,
PNI sebagai partai Negara hanya bertaham salam bilangan hari. PNI dimaksudkan
sebagai wadah untuk memperkuat persatuan bangsa, memperbesar asa cinta, setia,
dan bakti kepada tanah air. Pemimpin partai terdiri atas pengurus besar,
pengurus daerah, dan pengurus cabang. Setiap orang Indonesia yang sudah berumur
18 tahun keatasa berhak menjadi anggota. Presiden Soekarno mengatakan bahwa PNI
akan menjadi motor perjuangan rakyat dalam segala urusan dan lapangan. Berbeda
dengan KNI yang merupakan sebuah komite yang diadakan untuk sementara, PNI
dimaksudkan akan hidup terus pada massa yang akan datang.
Pengurus harian PNI diumumkan pada tanggal 27 Agustus 1945. Mereka
adalah Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, Mr. Sudjono, Wikana dan Mr. A.A.
Maramis. Dua hari kemudian, diumumkan pengurus yang lebih lengkap terdiri atas
Ir. Soekarno (Pemimpin Besar Pertama), Drs. Mohammad Hatta (Pemimpin Besar
Kedua), Mr. Gatot Tarunamihardja (Pemimpin Umum atau disebut juga Ketua
Partai), Abikusno Tjokrosujoso (Ketua Umum Seksi Politik), dan dr. Muwardi
(Ketua Seksi Organisasi).
Pembentukan PNI sebagai partai Negara ini mengundang reaksi
penolakan berbagai pihak. Partai ini dianggap sangat “berbau” Jawa Hokokaisebab
sebagian besar anggotanya adalah orang yang dahulu duduk dalam organisasi
buatan Jepang itu. Partai ini Juga tidak mewakili segenap golongan dalam
masyarakat. Golongan Islam, misalnya, sangat sedikit diwakili, dan tidak
seorang pun tokoh utama gerakan bawah tanah pada masa Pendudukan Jepang yang
diikutsertakan. Lagi pula, PNI dianggap akan menggusur peran KNI. Dari 34
anggota pengurus PNI, hanya 4 orang yang bukan anggota KNI.
Sjahrir dan kelompoknya mengangap pembentukan partai tunggal
bertentangan dengan paham demokrasi. Ia mengindetifikasikan PNI dengan partai
Nazi di Jerman dan partai Fasis di Italia sebelum Perang Dunia II. Karena
sebagian besar anggotanya adalah bekas anggota Jawa Hokokai, diperkirakan
pihak luar, terutama Negara-negara Sekutu, akan menganggap partai ini buatan
Jepang. Hal itu akan mempersulit usaha pemerintahan untuk memperoleh pengakuan
dari luar negeri.
Akibat banyaknya reaksi menolak, pada tanggal 3 Agustus pembentukan
PNI dibatalkan, atau seperti dikatakan Presiden Soekarno, “untuk sementara
waktu ditunda”, sebab segala aktiviteitharus dicurahkan kedalam Komite
Nasional Indonesia yang kedudukannya sangat penting untuk memusatkan segala tindakan
dan susunan rakyat. Akan tetapi, di beberapa daerah cabang-cabagng partai ini
sudah terbentuk atau dalam proses pembentukan, seperti di Palembang dibawah
pimpinan dr. A.K. Gani dan di Makassar di bawah pimpinan Manai Sophiaan.
Keputusan PPKI tanggal 22 Agustus tentang pembentukan BKR merupakan
perubahan dari keputusan untuk membentuk tentara kebangsaan yang diambil dalam
siding tanggal 19 Agustus. Rapat PPKI yang ketiga dilakukan pada tanggal 22
Agustus 1945. Dalam rapat ini diputuskan tiga persoalan pokok yang sudah
dibahas yakni: pembentukan Komite Nasional, Partai Nasional Indonesia, dan
Membentuk Badan Keamanan Rakyat.
2.3
Perjuangan Awal Merebut
dan Menegakkan Kedaulatan
2.3.1 Merebut Kekuasaan
Sesudah
proklamasi terjadilah bentrokan antara pemuda indonesia dengan aparat jepang,
tujuan dari bentrok pemuda indonesia ini melawan aparat jepang adalah untuk
merebut kekuasaan guna menegakkan kedaulatan republik indonesia serta
memperoleh senjata. Dalam bentrokan ini di daerah jakarta para pemuda yang
dipelopori oleh komite van aksi menteng 31 merencanakan untuk mengerahkan masa
pada suatu rapat akbar di lapangan IKADA jakarta , agar para pimpinan RI dapat
berbicara dengan masayarakat .
Rencana
ini dilaksankan dengan 2 cara yaitu: Persiapan pengerahan massa dan menyerahkan
rencana itu kepada presiden. Pada prinsipnya persiden Soekarno dan wakil
presiden Moh Hatta setuju, de mikian pula para menteri. Yang menjadi persoalan
bagi pemerintah adalah bagaimana sikap penguasa jepang setelah mereka menyerah
dan menjadi alat serikat. Apakah mereka memusuhi mereka atau tidak. Seandainya
mereka memusuhi kita, pasti akan terjadi malapetaka hebat yang akan menimpa
massa rakyat. Masalah yang sulit ini kemudian dibicarakan dalam sidang kabinet
bertempat di kediaman presiden. Sidang berlangsung sampai dinihari tanggal 19
september 1945.
Sidang
tidak menghasilkan keputusan bulat dan akhirnya ditangguhkan sampai pukul 10
pagi, sidang dimulai lagi kemudian pada pukul 10 di lapangan banteng barat yang
dihadiri juga oleh para pemipin pemuda. Para pemimpin pemuda menyatakan agar
rapat tidak dibatalkan, sementara itu massa sudah berbondong-bondong membanjiri
lapangan ikada untuk mendengarkan pidato-pidato para pemimpin-pemimpinnya.
Suasana menjadi sangat tegang setelah lapangan Ikada dijaga ketat oleh pasukan
bersenjata jepang, yang juga mengerahkan tank-tanknya. Sewaktu-waktu bisa
terjadi bentrokan berdarah, akhirnya sidang memutuskan agar para pemimpin
datang untuk berhadapan muka dengan massa guna meminta kesediaan mereka untuk
mematuhi perintah-perintahnya. Selanjutnya menyerukan kepada mereka supaya
bubar dan pulang ke rumah masing-masing.
Kemudian
presiden dan wakil presiden serta para menteri menuju lapangan ikada, pada
waktu itu lapangan ikada telah melimpah ruah dengan berbagai masa yang telah
membawa berbagai macam senjata tajam. Tampak pula pasukan jepang suda siap
dengan senjatanya. Setelah kedatanganya bung karno langsung naik panggung, bung
karno dalam pidatonya meminta supaya rakyat indonesia percaya dan mendukung
pemerintah republik indonesia dan tunduk pada disiplin. Kemudian ia meminta
rakyat untuk bubar. Rapat raksasa 19 september 1945 itu adalah manifestasi
kewibawaan pemerintah republik indonesia kepada rakyatnya.
Pada bulan September 1945, beberapa pemimpin karesidenan di
Jawa menyambut Proklamasi Kemerdekaan dengan menyatakan diri sebagai bagian
dari Pemerintahan Republik Indonesia dan mengancam akan melakukan tindakan
keras terhadap segala tindakan yang menentang Pemerintah Republik Indonesia.
Pegawai-pegawai
Jepang dirumahkan dan dilarang memasuki kantor-kantor mereka. Tahap berikutnya, para pemuda berusaha untuk
merebut senjata dan gedung-gedung vital.
Selama bulan September di Surabaya terjadi perebutan senjata
di arsenal (gudang mesiu) Don Bosco, perebutan Markas Pertahanan Jawa Timur,
perebutan Pangkalan Angkatan Laut Ujung, dan perebutan markas-markas Jepang
lainnya serta perebutan pabrik-pabrik yang tersebar di seluruh kota. Pada tanggal 19 September 1945, terjadi Insiden Bendera di
Hotel Yamato. Insiden ini terjadi ketika orang-orang Belanda bekas tawanan
Jepang menduduki Hotel Yamato dengan dibantu oleh serombongan pasukan Sekutu,
mengibarkan bendera Belanda di puncak hotel. Hal ini memancing kemarahan para
pemuda. Oleh karena itu Residen Sudirman dengan cara baik-baik meminta agar
bendera Belanda tersebut diturunkan. Setelah permintaan itu ditolak, maka hotel
itu diserbu oleh para pemuda dan bentrokan pun tidak dapat dihindarkan.
Beberapa pemuda berhasil memanjat atap hotel dan menurunkan bendera Belanda. Selanjutnya mereka merobek warna birunya dan
mengibarkannya kembali menjadi merah-putih.
Sasaran berikutnya adalah Markas Kempetai yang terletak di
depan kantor gubernur sekarang, karena dianggap sebagai lambang kekejaman
Jepang. Markas tersebut diserbu oleh rakyat pada tanggal 1 Oktober 1945.
Setelah melalui pertempuran selama kurang lebih 5 jam, gedung itu jatuh ke
tangan rakyat. Dalam pertempuran itu 25 orang pemuda gugur dan 60 luka-luka
serta sebanyak 15 orang prajurit Jepang Meninggal.
Di Yogyakarta, perebutan
kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26 September 1945. Sejak pukul
10 pagi, semua pegawai pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh
Jepang mengadakan aksi pemogokan. Mereka mendesak Jepang agar menyerahkan semua
kantor kepada Pemerintah RI. Sementara itu, para pemuda yang tergabung dalam
BKR berusaha untuk memperoleh senjata dari pihak Jepang. Usaha melucuti tentara
Jepang melalui jalan perundingan sama sekali gagal. Pada malam hari tanggal 7
Oktober 1945, para pemuda BKR bersama dengan Polisi Istimewa bergabung menuju
ke Kota Baru. Mereka menyerbu tangsi Otsuka Butai (sekarang gedung SMA di
sebelah sentral telepon). Pada hari itu juga Otsuka Butai menyerah. Dalam
penyerbuan itu sebanyak 18 orang pemuda polisi gugur.
Di Bandung, pertempuran
diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut Pangkalan Udara Andir dan bekas
senjata ACW (Artillerie Contructie Winkel). Perjuangan itu terus
berlangsung sampai dengan kedatangan pasukan Sekutu di kota Bandung pada
tanggal 17 Oktober 1945.
Di Semarang terjadi
pertempuran yang dahsyat antara para pemuda Indonesia melawan Jepang. Pada
tanggal 14 Oktober 1945 sekitar 400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring
diangkut oleh pemuda Indonesia untuk dibawa ke Penjara Bulu di Semarang.
Sebelum sampai di Penjara Bulu, sebagian tawanan itu melarikan diri dan minta
perlindungan kepada batalyon Kido. Para pemuda menjadi marah dan mulai merebut
kantor-kantor pemerintah. Orang-orang Jepang yang ditemui disergap dan ditawan.
Pada keesokan harinya pasukan Jepang menyerbu kota Semarang dari tangsinya di
Jatingaleh. Sejak saat itulah berlangsung Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Korban yang jatuh di pertempuran ini diperkirakan sebanyak 990 orang.
Di Sulawesi Selatan pada
tanggal 19 Agustus 1945, rombongan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi,
mendarat di Sapiria, Bulukumba. Setibanya di Ujung Pandang (Makassar), gubernur
mulai menyusun pemerintahan dengan mengangkat Mr. Andi Zainal Abidin sebagai
sekretaris daerah. Akan tetapi, para pemuda menganggap tindakan gubernur
terlalu berhati-hati. Oleh karena itu, pada pemuda mulai merencanakan untuk
merebut gedung-gedung vital, seperti stasiun radio dan tangsi polisi. Kelompok
pemuda tersebut terdiri atas kelompok Barisan Berani Mati (Bo-ei Tai-shin),
bekas Kaigun Heiho dan pelajar SMP. Pada tanggal 28 Oktober 1945 mereka
bergerak menuju sasaran dan mendudukinya. Mengetahui tindakan pemuda itu,
pasukan Australia yang sudah ada sebelumnya bergerak dan melucuti para pemuda.
Karena terdesak, maka pusat gerakan pemuda dipindahkan dari Ujung Pandang ke
Polombangkeng.
Di Sulawesi Utara, sekalipun
telah hampir setengah tahun dikuasai NICA, usaha para pemuda untuk menegakkan
kedaulatan RI tidaklah padam. Pada tanggal 14 Februari 1946, pemuda-pemuda
Indonesia anggota KNIL yang telah tergabung dalam Pasukan Pemuda Indonesia
(PPI) bergerak menuju Tangsi Putih dan Tangsi Hitam di Teling, Manado. Mereka
membebaskan para tahanan yang dianggap pro-Republik Indonesia. Sebaliknya
mereka menahan Komandan Garnisun Manado dan semua pasukan Belanda di Teling dan
penjara Manado. Bahkan kemudian para pemuda menguasai markas Belanda di Tomohon
dan Tondano. Selanjutnya mereka mengirim berita perebutan kekuasaan itu ke
pemerintahan pusat di Yogyakarta. Pemerintahan sipil dibentuk pada tanggal 16
Februari 1946. B.W. Lapian diangkat sebagai residennya. Satuan tentara lokal
juga dibentuk dengan pimpinan kolektif, yaitu Ch. Taulu, S.D. Wuisan, dan J.
Kaseger.
Di Kalimantan, di beberapa
kota sudah mulai timbul gerakan mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI. Pada waktu
itu tentara Australia sudah mendarat dan mengeluarkan ultimatum melarang semua
aktivitas politik, seperti demonstrasi, menyelenggarakan rapat-rapat, dan
mengibarkan bendera Merah Putih. Akan tetapi, kaum nasionalis tetap
melaksanakannya. Di Balikpapan, pada tanggal 14 November 1945, sejumlah 8.000
orang berkumpul di depan komplek NICA sambil membawa bendera Merah Putih.
Di Pulau Sumbawa, pemuda-pemuda Indonesia pada
bulan Desember 1945 berusaha merebut senjata dari Jepang. Di Gempe terjadi
bentrokan antara 200 pemuda melawan Jepang. Di Sape sekitar 400 pemuda berusaha
merebut senjata di markas Jepang. Hal yang sama juga terjadi di Raba.
Di Bali para pemuda pada akhir
bulan Agustus telah membentuk beberapa organisasi pemuda seperti AMI dan Pemuda
Republik Indonesia (PRI). Mereka berusaha menegakkan kedaulatan RI melalui
perundingan, tetapi mendapatkan hambatan dari pihak Jepang. Oleh karena itu,
pada tanggal 13 Desember 1945 mereka melakukan gerakan serentak untuk merebut
kekuasaan dari tangan Jepang. Akan tetapi, hal itu juga mengalami kegagalan.
Di Banda Aceh pada tanggal 6 Oktober 1945 para
pemuda dan tokoh masyarakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Pada
tanggal 12 Oktober 1945 Shucokan Jepang memanggil pada pemimpin pemuda. Ia
menyatakan bahwa walaupun Jepang telah kalah, tetapi keamanan masih menjadi
tanggung jawab mereka. Oleh karena itu, ia meminta semua kegiatan mendirikan
perkumpulan yang tanpa izin dihentikan dan perkumpulan yang sudah terlanjur
dibentuk, supaya dibubarkan. Para pemimpin pemuda menolak keras. Sejak hari itu
dimulailah perebutan dan pengambilalihan kantor-kantor pemerintah dengan
pengibaran bendera Merah Putih. Bentrokan dengan pasukan Jepang terjadi di
Langsa, Lho’Nga, Ulee Lheue, dan lain-lain.
Di Sumatera Selatan perebutan
kekuasaan terjadi pada tanggal 8 Oktober 1945. Peristiwa itu terjadi ketika
Residen Sumatera Selatan dr. A.K. Gani bersama seluruh pegawai Gunseibu melakukan
upacara pengibaran bendera Merah Putih. Pengibaran bendera Merah Putih juga
dilakukan oleh para pegawai di kantor masing-masing. Pada hari itu juga
diumumkan bahwa di seluruh karesidenan Palembang hanya ada satu kekuasaan,
yaitu Republik Indonesia. Perebutan kekuasaan di Palembang berlangsung tanpa
insiden, sebab orang-orang Jepang telah menghindar ketika peristiwa itu
terjadi.
2.3.2
Pertempuran Surabaya
Pada tanggal 25
Oktober 1945 Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A W.S. Mallaby mendarat
di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Brigade ini merupakan bagian dari Divisi
India ke-23, dibawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas
melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan tawanan Sekutu. Pasukan ini
berkekuatan 6000 personil di mana perwira-perwiranya kebanyakan orang-orang
Inggris dan prajuritnya orang-orang Gurkha dari Nepal yang telah berpengalaman
perang. Rakyat dan pemerintah Jawa Timur di bawah pimpinan Gubernur R.M.T.A
Suryo semula enggan menerima kedatangan Sekutu. Kemudian antara wakil-wakil
pemerintah RI dan Birgjen AW.S. Mallaby mengadakan pertemuan yang menghasilkan
kesepakatan sebagai berikut:
1) Inggris
berjanji mengikutsertakan Angkatan Perang Belanda.
2) Disetujui
kerja sama kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman.
3) Akan
dibentuk kontak biro agar kerja sama berjalan lancar.
4) Inggris
hanya akan melucuti senjata Jepang.
Pada tanggal 26
Oktober 1945 pasukan Sekutu melanggar kesepakatan terbukti melakukan penyergapan
ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan para tawanan Belanda di antaranya
adalah Kolonel Huiyer. Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran pamflet yang
berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka. Rakyat
Surabaya dan TKR bertekad untuk mengusir Sekutu dari bumi Indonesia dan tidak
akan menyerahkan senjata mereka. Kontak senjata antara rakyat Surabaya melawan
Inggris terjadi pada tanggal 27 Oktober 1945. Para pemuda dengan perjuangan
yang gigih dapat melumpuhkan tank-tank Sekutu dan berhasil menguasai
objek-objek vital. Strategi yang digunakan rakyat Surabaya adalah dengan
mengepung dan menghancurkan pemusatan-pemusatan tentara Inggris kemudian
melumpuhkan hubungan logistiknya. Serangan tersebut mencapai kemenangan yang
gemilang walaupun di pihak kita banyak jatuh korban. Pada tanggal 29 Oktober
1945 Bung Karno beserta Jenderal D.C. Hawthorn tiba di Surabaya.
Dalam
perundingan antara pemerintah RI dengan Mallaby dicapai kesepakatan untuk
menghentikan kontak senjata. Kesepakatan ini dilanggar oleh pihak Sekutu. Dalam
salah satu insiden, Jenderal Mallaby terbunuh. Dengan terbunuhnya Mallaby,
pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban kepada rakyat Surabaya. Pada tanggal
9 November 1945 Mayor Jenderal E.C. Mansergh sebagai pengganti Mallaby
mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Ultimatum itu
isinya agar seluruh rakyat Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya menyerahkan
diri dengan senjatanya, mengibarkan bendera putih, dan dengan tangan di atas
kepala berbaris satu-satu. Jika pada pukul 06.00 ultimatum itu tidak diindahkan
maka Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut dan udara. Ultimatum
ini dirasakan sebagai penghinaan terhadap martabat bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Oleh
karena itu rakyat Surabaya menolak ultimatum tersebut secara resmi melalui
pernyataan Gubernur Suryo. Karena penolakan ultimatum itu maka meletuslah
pertempuran pada tanggal 10 Nopember 1945. Melalui siaran radio yang
dipancarkan dari Jl. Mawar No.4 Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek
Surabaya. Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul 18.00. Pasukan
Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu Divisi infantri
sebanyak 10.000 - 15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh kapal perang
penjelajah “Sussex” serta pesawat tempur “Mosquito” dan “Thunderbolt”.
Dalam
pertempuran di Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu membahu, baik
dari TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR maupun TKR
laut di bawah Komandan Pertahanan Kota, Soengkono. Pertempuran yang berlangsung
sampai akhir November 1945 ini rakyat Surabaya berhasil mempertahankan kota
Surabaya dari gempuran Inggris walaupun jatuh korban yang banyak dari pihak
Indonesia. Oleh karena itu setiap tanggal 10 November bangsa Indonesia
memperingati Hari Pahlawan. Hal ini sebagai penghargaan atas jasa para pahlawan
di Surabaya yang mempertahankan tanah air Indonesia dari kekuasaan asing.
2.3.3 Pertempuran Ambarawa
Kedatangan
Sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigadir lenderal
Bethel semula diterima dengan baik oleh rakyat karena akan mengurus tawanan
perang. Akan tetapi, secara diam-diam mereka diboncengi NICA dan mempersenjatai
para bekas tawanan perang di Ambarawa dan Magelang. Setelah terjadi insiden di
Magelang antara TKR dengan tentara Sekutu maka pada tanggal 2 November 1945
Presiden Soekarno dan Brig.Jend. Bethel mengadakan perundingan gencatan
senjata.
Pada tanggal 21
November 1945 pasukan Sekutu mundur dari Magelang ke Ambarawa. Gerakan ini
segera dikejar resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini
dan meletuslah pertempuran Ambarawa. Pasukan Angkatan Muda di bawah Pimpinan
Sastrodihardjo yang diperkuat pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan
Surakarta menghadang Sekutu di desa Lambu. Dalam pertempuran di Ambarawa ini
gugurlah Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya
Letnan Kolonel Isdiman, komando pasukan dipegang oleh Kolonel Soedirman,
Panglima Divisi di Purwokerto. Kolonel Soedirman mengkoordinir
komandan-komandan sektor untuk menyusun strategi penyerangan terhadap musuh.
Pada tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR berhasil mengepung musuh yang
bertahan di benteng Willem, yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa.
Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa di kepung. Karena merasa terjepit maka pada
tanggal 15 Desember 1945 pasukan Sekutu meninggalkan Ambarawa menuju ke
Semarang.
2.3.4 Pertempuran Medan Area
Berita
Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945. Hal
ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara Jepang.
Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan yang diangkat menjadi Gubernur
Sumatra. Ia ditugaskan oleh pemerintah untuk menegakkan kedaulatan Republik
Indonesia di Sumatera dengan membentuk Komite Nasional Indonesia di wilayah
itu. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di Sumatera Utara di
bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly. Serdadu Belanda dan NICA ikut
membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih pemerintahan. Pasukan
Sekutu membebaskan para tawanan atas persetujuan Gubernur Teuku M. Hassan. Para
bekas tawanan ini bersikap congkak sehingga menyebabkan terjadinya insiden di
beberapa tempat.
Achmad Tahir,
seorang bekas perwira tentara Sukarela memelopori terbentuknya TKR Sumatra
Tirnur. Pada tanggal l0 Oktober 1945. Di samping TKR, di Sumatera Timur
terbentuk Badan-badan perjuangan dan laskar-laskar partai. Pada tanggal 18
Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly memberikan ultimatum kepada pemuda
Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu
dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu memasang papan-papan yang
bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan.
Bagaimana sikap para pemuda kita? Mereka dengan gigih membalas setiap aksi yang
dilakukan pihak Inggris dan NICA. Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu
melancarkan serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan
pesawat-pesawat tempur. Pada bulan April 1946 pasukan Inggris berhasil mendesak
pemerintah RI ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke
Pematang Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat
Medan terus berjuang dengan membentuk Lasykar Rakyat Medan Area.
Selain di daerah Medan, di
daerah-daerah sekitarnya juga terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang,
Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan Bukittinggi pertempuran berlangsung sejak
bulan November 1945. Sementara itu dalam waktu yang sama di Aceh terjadi
pertempuran melawan Sekutu. Dalam pertempuran ini Sekutu memanfaatkan
pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi perlawanan rakyat sehingga pecah
pertempuran yang dikenal dengan peristiwa Krueng Panjol Bireuen. Pertempuran di
sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin sengit ketika pihak rakyat dipimpin
langsung oleh Residen Teuku Nyak Arif. Dalam pertempuran ini pejuang kita
berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian di seluruh Sumatera rakyat bersama
pemerintah membela dan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia terjadilah peristiwa-peristiwa baik di
tingkat pusat maupun daerah. Peristiwa-peristiwa tersebut di antaranya Bandung
Lautan Api, Puputan Margarana, Peristiwa Westerling di Makassar, dan Serangan
umum 1 Maret 1949.
2.4
Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
2.4.1
Aktivitas Diplomasi Indonesia di Dunia Internasional untuk Mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia
Pertemuan antara
wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin Indonesia diprakarsai oleh Pang lima
AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945. Dalam
pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad
Sobardjo, dan H. Agus Salim, sedangkan pihak Belanda diwakili Van Mook dan Van
Der Plas. Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk menjajagi kesepakatan kedua
belah pihak yang berselisih. Presiden Soekamo mengemukakan kesediaan Pemerintah
Republik Indonesia untuk berunding atas dasar pengakuan hak rakyat Indonesia
untuk menentukan nasibnya sendiri.
Sedangkan Van
Mook mengemukakan pandangannya mengenai masalah Indonesia di masa depan bahwa
Belanda ingin menjalankan untuk Indonesia menjadi negara persemakmuran
berbentuk federal yang memiliki pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan
Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda akan
memasukkan Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan Van
Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen, bahkan
Van Mook akan dipecat dari jabatan wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda
(Indonesia).
Untuk mempertemukan pihak Indonesia
dengan pihak Belanda, pemerintah Inggris mengirimkan seorang diplomat ke
Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah. Pada tanggal 10
Februari 1946 perundingan Indonesia-Belanda dimulai. Pada waktu itu Van Mook
menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai berikut:
1)
Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth
berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan
kerajaan Belanda.
2)
Urusan dalam negeri dijalankan
Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.
Selanjutnya pada tanggal 12 Maret
1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara lain sebagai berikut:
1)
Republik Indonesia harus diakui
sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.
2)
Federasi Indonesia-Belanda akan
dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan
diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia
dan Belanda.
Usul dari pihak Indonesia di atas
tidak diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya Van Mook secara pribadi
mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk
mengadakan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federal dalam lingkungan
Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru
kepada Van Mook antara lain sebagai berikut:
1)
Supaya pemerintah Belanda mengakui
kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan Sumatera.
2)
Supaya RI dan Belanda bekerja sama
membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
3)
RIS bersama-sama dengan Nederland,
Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda.
Pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri Belanda) terjadi
perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda, Perundingan yang
berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak
konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda
tidak bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan
Sumatra tetapi hanya Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang
diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan
Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul
bagi pemerintahannya kepada pihak RI.Walaupun Perundingan Hooge Veluwe
mengalami kegagalan akan tetapi dalam prinsipnya bentuk-bentuk kompromi antara
Indonesia dan Belanda sudah diterima dan dunia memandang bahwa bentuk-bentuk
tersebut sudah pantas. Oleh karena itu pemerintah Inggris masih memiliki
perhatian besar terhadap penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda dengan
mengirim Lord Killearn sebagai pengganti Prof Schermerhorn. Pada tanggal 7
Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah
Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman
Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam perundingan ini masalah gencatan
senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh
panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer
sebagai berikut:
1)
Gencatan senjata diadakan atas
dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu
serta Indonesia.
2)
Dibentuk sebuah Komisi bersama
Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Dalam mencapai kesepakatan di bidang
politik antara Indonesia dengan Belanda diadakanlah Perundingan Linggajati. Perundingan
ini diadakan sejak tanggal 10 November 1946 di Linggajati, sebelah selatan
Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya
Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh
Perdana Menteri Sjahrir, dengan anggotaanggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Amir
Sjarifoeddin, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo.
Sedangkan sebagai penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris
untuk Asia Tenggara. Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal
25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya
adalah sebagai berikut:
1)
Belanda mengakui secara de facto
Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan
Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal
1 Januari 1949.
2)
Republik Indonesia dan Belanda akan
bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik
Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
3)
Republik Indonesia Serikat dan
Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai
ketuanya.
Meskipun isi perundingan Linggajati masih
terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda, akan tetapi
kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional kuat karena Inggris dan
Amerika memberikan pengakuan secara de facto. Perbedaan penafsiran mengenai isi
Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya Belanda melakukan Agresi
Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947.
2.4.2 Agresi Militer Pertama
Tujuan utama agresi
Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang
memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia
internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil,
dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur
Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia
menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati.
Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang,
dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan
oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Konferensi pers pada malam 20
Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan
tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa
daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak
tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi
militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke
daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda
di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera
Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka
menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah
wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama
ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini
berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah
Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali
dari Pembantaian Westerling|pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah
beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke
Sumatera Barat.
Agresi tentara Belanda
berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat
penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik
dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari
Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan
mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto|Agustinus
Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I
Adisumarmo Wiryokusumo.
Republik Indonesia secara
resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut
dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaituPersetujuan Linggarjati.
Belanda ternyata tidak
memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang
tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan
Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda
dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan
Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik
bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto
mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi
PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak
resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian
resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, resolusi No. 36 tanggal 1
November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan
PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan
PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan
menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan
Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan
Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara
Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for
Indonesia (Komite Jasa Baik
Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena
beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia
yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral.
Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland
dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
Atas prakasa Komisi Tiga Negara
(KTN), maka berhasil dipertemukan antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam
sebuah perundingan. Perundingan ini dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan
Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan
Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan Renville ini dimulai pada tanggal 8
Desember 1947 di mana pihak Indonesia mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh
Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. Hasil perundingan
Renville baru ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 yang intinya sebagai
berikut.
1)
Pemerintah RI harus mengakui
kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh
Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).
2)
Akan diadakan pemungutan suara untuk
menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera
menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari Negara
Indonesia Serikat.
3)
Tiap negara (bagian) berhak tinggal
di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan
Nederland.
Akibat dari perundingan Renville ini
wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera menjadi
lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI bersedia menandatangani perjanjian ini
karena beberapa alasan di antaranya adalah karena persediaan amunisi perang
semakin menipis sehingga kalau menolak berarti belanda akan menyerang lebih
hebat. Di samping itu juga tidak adanya jaminan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat
menolong serta RI yakin bahwa pemungutan suara akan dimenangkan pihak
Indonesia.
2.4.3 Agresi Militer kedua
Ketika Dr. Beel menjabat
sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia mempunyai pandangan yang
berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia berpendirian bahwa di Indonesia
harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan pemerintah kolonial dengan tindakan
militer. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan
tidak terikat dengan Perundingan Renville dan dilanjutkan tindakan agresi
militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 06.00 pagi
dengan menyerang ibu kota Rl yang berkedudukan di Yogyakarta
Setelah mempertimbangkan
segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan
untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan
yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung
Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota,
tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil
Presiden ikut bergerilya. MenteriLaoh mengatakan bahwa sekarang ternyata
pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa
tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut
suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil
Presiden tetap dalam kota.
Sesuai dengan rencana yang
telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan
dibentuk diSumatera,
maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr.
Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi.
Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat
sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.
Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak
berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar
RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A.
Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Empat Menteri yang ada di Jawa
namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah
Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo,
Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri
Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai
Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada
Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi,
dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan
L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi,
India.
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut
mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II
dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat
diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman,
Menteri Perhubungan.
Dengan peristiwa agresi
militer belanda kedua ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi
Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission
for Indonesian atau UNCI). Komisi ini bertugas membantu melancarkan
perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Mei
1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku
ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut.
1.
Pernyataan Mr. Moh Roem.
a)
Mengeluarkan perintah kepada
“Pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
b)
Bekerja sama dalam hal
mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c)
Turut serta dalam Konferensi Meja
Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang
sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak
bersyarat.
2)
Pernyataan Dr. Van Royen
a)
Menyetujui kembalinya Pemerintah
Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b)
Menjamin penghentian
gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c)
Tidak akan mendirikan atau
mengakui negara-negara yang berada di daerah-daerah yang dikuasai RI sebelum
tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan
Republik.
d)
Menyetujui adanya Republik
Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
e)
Berusaha dengan sungguh-sungguh
agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke
Yogyakarta
Konferensi Meja Bundar
Salah
satu pernyataan Roem-Royen adalah segera diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter - Indonesia antara
wakil-wakil Republik Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg)
atau Pertemuan Permusyawarahan Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali
yakni tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli - 2
Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam konferensi ini
ialah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia
Salah satu
pernyataan Roem-Royen adalah segera diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter - Indonesia antara
wakil-wakil Republik Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg)
atau Pertemuan Permusyawarahan Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali
yakni tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli - 2
Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam konferensi ini
ialah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesiaatas penyerahan kedaulatan tanpa ikatanikatan politik
ataupun ekonomi. Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diadakanlah
Konferensi Meja Bundar di Den Haag (Belanda). Sebagai ketua KMB adalah Perdana
Menteri Belanda, Willem Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO
di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, dan delegasi Be1anda dipimpin
Van Maarseveen sedangkan dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh Chritchley. Pada tanggal 2 November
1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari persetujuan KMB adalah
sebagai berikut.
1.
Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir
bulan Desember 1949.
2.
Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan
kedaulatan.
3.
Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia -
Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
4.
Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
5.
Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.
Dari hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949
Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27
Desember 1949 diadakanlah penandatanganan pengakuan kedaulatan di negeri
Belanda. Pihak Belanda ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr.
Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen. Sedangkan delegasi
Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink menandatangani
naskah pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini
maka Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni
Republik Indonesia Serikat (RIS).
BAB III
PENUTUP
3. 1.
Kesimpulan
Perundingan
antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks
proklamasi ditulis diruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No
1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan
Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri.
Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni
mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu
diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno,
Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar
Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan
pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks.
Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan,
disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan
Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Sesudah
proklamasi terjadilah bentrokan antara pemuda indonesia dengan aparat jepang,
tujuan dari bentrok pemuda indonesia ini melawan aparat jepang adalah untuk
merebut kekuasaan guna menegakkan kedaulatan republik indonesia serta
memperoleh senjata. Dalam bentrokan ini di daerah jakarta para pemuda yang
dipelopori oleh komite van aksi menteng 31 merencanakan untuk mengerahkan masa
pada suatu rapat akbar di lapangan IKADA jakarta , agar para pimpinan RI dapat
berbicara dengan masayarakat.Di
Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26
September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai pemerintah dan
perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi pemogokan.Di
Bandung, pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut Pangkalan
Udara Andir dan bekas senjata ACW (Artillerie Contructie Winkel).Di
Semarang terjadi pertempuran yang dahsyat antara para pemuda Indonesia melawan
Jepang. Selain daerah-daerah tersebut, hampir di semua daerah atau wilayah di
Indonesia melakukan perebutan kekuasaaan dan menegakkan kemerdekaan.
Pada tanggal 29 September 1945
akhirnya Sekutu mendarat di Indonesia yang bertugas melucuti tentara Jepang.
Semula rakyat Indonesia menyambut dengan senang hati kedatangan Sekutu, karena
mereka mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa
Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di bawah pimpinan Van der Plass
dan Van Mook ikut di dalamnya, sikap rakyat Indonesia menjadi curiga dan
bermusuhan. NICA adalah organisasi yang didirkan orang-orang Belanda yang
melarikan diri ke Australia setelah Belanda menyerah pada Jepang. Organisasi
ini semula didirikan dan berpusat di Australia. Keadaan bertambah buruk karena
NICA mempersenjatai kembali KNIL setelah dilepas oleh Sekutu dari tawanan
Jepang. Adanya keinginan Belanda berkuasa di Indonesia menimbulkan
pertentangan, bahkan diman-mana terjadi pertempuran melawan NICA dan Sekutu.
Belanda melakukan dua kali agresi militer ke indonesia. Agresi militer Belanda
I dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947 dan agresi Belanda II pada tanggal 19
Desember 19948.
DAFTAR
PUSTAKA
Nugroho,
Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta; Balai Pustaka
Pour, Julius.
2013. Djakarta 1945 Awalak Revolusi Kemerdekaan. Jakarta; Bhuana Ilmu
Populer
Indra, Muhammad
Ridwan. 1989. Peristiwa-Peristiwa Sekitar Proklamasi 17-8-1945. Jakarta;
Sinar Grafika
Samani, P.R.
1989. Jejak Revolusi 1945 Sebuah Kesaksian Sejarah. Jakarta; Temprint
Tidak ada komentar:
Posting Komentar