Selasa, 03 Maret 2015

masa revolusi kemerdekaan





MAKALAH
SEJARAH NASIONAL INDONESIA IV
 MASA REVOLUSI KEMERDEKAAN 1945-1950
(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia IV)
(Dosen Pengampu Mata Kuliah Drs. Kayan Swastika, M. Si)


Disusun Oleh :

Lebdo Aji Wasito                               (130210302005)
Sihatul Cismifah                                 (130210302019)
Meinda Ratih Siwi H.                         (130210302055)
Irfan Bayu Anggara                            (130210302059)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014





KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT  atas segala limpahan karuniaNya sehingga makalah dengan judul “Masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1950  dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia IV, dengan dosen pengampu Drs. Kayan Swastika, M. Si.
Makalah  Sejarah Nasional Indonesia IV tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, terimakasih yang  sebesar-besarnya penulis haturkan pada berbagai pihak yang ikut andil dalam penyusunan makalah.
Penulis menyadari dalam makalah jauh dari kata sempurna, oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah Sejarah Nasional Indonesia IV dengan judul “Masa  Revolusi Kemerdekaan 1945-1950” dapat bermanfaat bagi semua pihak.




Jember, Maret  2015
Penulis



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1  Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
1.3  Tujuan Penulisan............................................................................................ 2
1.4  Manfaat Penulisan......................................................................................... 2
BAB II PEMABAHASAN................................................................................ 3
2.1 Proklamasi Kemerdekaan.............................................................................. 3
2.2 Rapat-Rapat PPKI......................................................................................... 8
2.3 Perjuangan Awal Merebut dan Menegakkan Kedaulatan
............................................................................................................................. 17
      2.3.1Merebut Kekuasaan............................................................................... 17
      2.3.2 Pertempuran Surabaya.......................................................................... 22
      2.3.3 Pertempuran Ambarawa........................................................................ 24
      2.3.4 Pertempuran Medan Area...................................................................... 25
2.4 Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan................................................. 26
      2.4.1 Aktivitas Diplomasi Indonesia di Dunia Internasional untuk Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 26
      2.4.2 Agresi Militer Pertama.......................................................................... 29
      2.4.3 Agresi Militer Kedua ........................................................................... 32
BAB III SIMPULAN........................................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA         




















BAB 1
PENDAHULUAN

1. 1.          Latar Belakang
Indonesia dahulu adalah wilayah yang kaya akan rempah-rempah. Karena kekayaan rempah-rempah tersebut banyak sekali negara-negara dari Eropa mulai datang ke wilayah Indonesia untuk membeli rempah-rempah. Negara-negara Eropa yang awalnya datang untuk membeli rempah-rempah lama kelamaan mulai mencoba untuk menjajah daerah-daerah yang memiliki banyak sekali rempah-rempah dan daerah yang strategis.
Negara-negara Eropa yang pernah menjajah indonesia seperti Portugis dan Belanda. Di antara negara-negara tersebut negara Belanda yang paling lama menjajah Indonesia. Dalam masa penjajahan bangsa Belanda rakyat Indonesia hidup sengsara. Banyak sekalai perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan oleh pahlawan-pahlawan kemerdekaan Indonesia. Indonesia akhirnya dapat memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945.
Kemerdekaan itu tidak lantas membuat Indonesia terbebas dari belenggu masalah, Indonesia masih harus menghadapi berbagai perlawanan yg datang dari bekas penjajah yang tidak mengakui kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebersatuan dan keutuhan Negara Indonesia yang merdeka diuji dengan terjadinya berbagai peristiwa maupun  pergolakan yang terjadi berbagai wilayah di Indonesia. Diantaranya Indonesia harus mengalami masa perang dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan  atau yang lebih dikenal dengan perang kemerdekan yang terjadi pada tahun 1945-1949.
Oleh sebab tersebut, makalah ini akan membahas tentang Indonesia pada awal proklamasi sampai perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Indoneisa.

1. 2.          Rumusan Masalah
1. 2. 1.       Bagaimana peristiwa terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia ?
1. 2. 2.       Bagaimana rapat-rapat PPKI ?
1. 2. 3.       Bagaimana perjuangan awal merebut dan menegakkan kemerdekaan ?
1. 2. 4.       Bagaimana perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia ?

1. 3.          Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan yang ada, maka tujuan penulisan makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. 3. 1.       Untuk memahami dan mengetahuai bagaimana terjadinya peristiwa proklamasi kemerdekaan.
1. 3. 2.       Untuk mengetahui bagaimana rapat-rapat PPKI.
1. 3. 3.       Untuk mengetahui bagaimana perjuangan awal merebut dan menegakkan kemerdekaan.
1. 3. 4.       Untuk mengetahui perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara Indoneisa.

1. 4.          Manfaat
Dengan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. 4. 1.       Bagi pemakalah, makalah ini merupakan media untuk memperdalam ilmu, khususnya ilmu sejarah.
1. 4. 2.       Bagi mahasiswa calon guru sejarah, makalah ini di harapkan akan memberikan tambahan pengetahuan untuk lebih memperkaya materi sejarah.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Proklamasi Kemerdekaan
Pada tanggal 7 Agustus 1945 dibentuklah PPKI sesuai dengan keputusan jendral besar Terauchi. Anggotanya sekitar 20 orang antara lain Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan dr. Radjiman Wediodiningrat. Dan yang ditunjuk sebagai ketua adalah Ir. Soekarno, dengan wakilnya Drs. Moh. Hatta.
Pada tanggal 9 Agustus 1945 ketiga tokoh tersebut berangkat menuju Dalat Vietnam (markas besar jendral Terauchi). Dalam pertemuan itu , yaitu pada tanggal 12 Agustus 1945 jendral  Besar Terauchi memberi keputusan untuk memberi kemerdekaan bagi Indonesia. Pada tanggal 14 Agustus 1945 mereka kembali ke Indonesia.
            Pada tanggal 15 Agustus Jepang kalah dan menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Berita tersebut cepat menyebar di Indonesia terutama kaum muda, sehingga menimbulkan niat dari pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Niat tersebut disampaikan oleh Wikana dan Darwis (anggota golongan muda) kepada Ir. Soekarno untuk melaksanakan proklamasi yaitu pada tanggal 16 Agustus 1945, tetapi Ir. Soekarno menolak usulan tersebut dan masih ingin mendiskusiakn dengan anggota PPKI yang lain.
Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa dimulai dari "penculikan" yang dilakukan oleh sejumlah pemuda (a.l. Soekarni, Wikana danChaerul Saleh dari perkumpulan "Menteng 31" terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,sampai dengan terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr.Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan.
            Adanya perbedaan paham tersebut mendorong golongan muda untuk membawa Ir. Soekarno dan Moh. Hatta keluar kota, hal itu dilakukan karena mereka khawatir Soekarno dan Hatta mendapatkan pengaruh dari Jepang sehingga kemerdekaan menjadi tertunda. Akhirnya pada tanggal 16 Agustus pagi Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok sebuah kota kewedanaan di Kabupaten Karawang. Tempat itu dipilih karena keberadaanya terpencil dan mudah dideteksi apabila ada pergerakan tentara Jepang ke Rengasdengklok, baik dari arah Jakarta maupun Bandung. Dengan dalih melindungi mereka jika meletus suatu pemberontakan Peta dan Heiho, maksud dari penculikan tersebut adalah untuk menekan Soekarno dan Hatta agar segera melaksanakan proklamasi. Dalam peristiwa tersebut akhirnya Soekarno bersedia mengadakan proklamasi setelah kembali ke Jakarta.
Sementara itu di Jakarta terjadi kesepakatan antara Wikana dengan Akhmad Soebardjo bahwa proklamasi kemerdekaan harus dilaksanakan di Jakarta, dan Laksamana Tadashi Maeda bersedia untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat perumusan teks proklamasi.
Sesampainya di Jakarta rombongan PPKI menuju rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Rumusan tersebut dimulai pukul 03.00 dan berjalan dengan lancar ,Soekarno lah yang menulis teks proklamasi tersebut dan disempurnakan oleh Moh. Hatta dan Akhmad Soebardjo. Dan atas usulan sukarni, maka teks proklamasi tresebut ditanda tangani oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Teks tersebut yang semula hanya tulisan tangan Soekarno, diketik kembali oleh Sayuti Melik dengan sedikit perubahan. Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah bersih itu, yakni kata – kata “tempoh”  diganti menjadi “tempo”, sedangkan “wakil – wakil bangsa Indonesia” pada bagian akhir diganti dengan “Atas nama Bangsa Indonesia”.
Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan. Sebagai gantinya pemerintah pendudukan Jepang membentuk PPKI (Dokuritsu Junbi Inkai). Sebanyak 21 anggota PPKI yang terpilih tidak hanya terbatas pada wakil-wakil dari Jawa yang berada di bawah pemerintahan Tentara Keenambelas, tetapi juga dari berbagai pulau, yaitu 12 wakil dari Jawa, 3 wakil dari Sumatra, 2 wakil dari Sulawesi, seorang dari Kalimantan, seorang dari Sunda Kecil (Nusa Tenggara), seorang dari Maluku, dan seorang lagi dari golongan penduduk Cina. Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua PPKI dan Drs. Moh. Hatta ditunjuk sebagai wakil ketuanya, sedangkan Mr. Ahmad Soebardjo ditunjuk sebagai penasihatnya.
Kepada para anggota PPKI, Gunseikan Mayor Jenderal Yamamoto menegaskan bahwa para anggota PPKI bukan hanya dipilih oleh pejabat di lingkungan Tentara Keenambelas, tetapi juga oleh Jenderal Besar Terauci sendiri yang menjadi penguasa perang tertinggi di seluruh Asia Tenggara.
Pada pukul 05.00 (waktu pada zaman Jepang) tanggal 17 Agustus 1945, anggota PPKI dan tokoh-tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, pulang kerumah masing-masing setelah berhasil merumuskan teks Proklamasi. Mereka sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan di rumah Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (Sekarang Jalan Proklamasi zaman Jepang) atau pukul 10.00 WIB sekarang. Sebelum pulang, Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja di lembaga pers dan kantor berita, terutama B.M. Diah, untuk memperbanyak teks Proklamasi dan menyiarkan ke seluruh dunia.
            Para pemuda langsung melakukan kegiatan-kegiatan membagi perkejaan dalam kelompok-kelompok. Tiap-tiap kelompok mengirimkan kurir untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa saat Proklamasi telah tiba.  Kelompok Sukarni, misalnya yang bermarkas di Jalan Bogor Lama (sekarang Jalan Dr. Sahardjo, S.H.) melakukan rapat di Kepu (Kemayoran), kemudian pindah ke Defensielijin van de Bosch (sekarang Jalan Bungur Besar) untuk mengatur penyiaran berita Proklamasi. Semua alat komunikasi yang ada akan dipergunakan untuk maksud itu, seperti pamphlet, pengeras suara, dan mobil-mobilan akan dikerahkan ke segenap penjuru kota. Diusahakan juga pengarahan massa untuk mendengarkan pembacaan Proklamasi di Pegangsaan Timur 56.
            Ribuan teks Proklamasi berhasil di cetak dengan roneo dan segera disebarkan ke perbagai penjuru kota, di tempelkan di tempat-tempat yang mudah dilihat oleh public. Juga, secara beranting berita itu disampaikan ke luar kota Jakarta.
            Pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, barisan pemuda datang berbondong-bondong menuju lapangan Ikada, di sudut tenggara Lapangan Monumen Nasional (monas) yang sekarang. Ternyata, Lapangan Ikada sudah dijaga oleh pasukan Jepang yang bersenjata lengkap. Rupanya Jepang sudah mengetahui kegiatan para pemuda, dan arena itu mereka berusaha menghalanginya.
            Para pemuda datang ke Lapangan Ikada berdasarkan informasi dari mulut ke mulut bahwa Proklamasi akan diucapkan ditempat tersebut. Mereka tidak megetahui keputusan terakhir yang diambil oleh PPKI bahwa pemimpin Barisan Pelopor pun, tidak mengetahuinya. Pagi itu ia berangkat ke Lapangan Ikada. Setelah melihat lapangan itu dijaga oleh pasukan Jepang, ia menemui dr. Muwardi, Kepala Keamanan Ir. Soekarno. Dari dr. Muwardi ia mendapat penjelasan bahwa Proklamasi akan diucapkan di Pengangsaan Timur 56. Soedino kembali ke Ikada untuk memberitahukan hal itu kepada anak buahnya.
            Pada pagi itu pekarang rumah Ir. Soekarno sudah dipadati oleh sejumlah massa pemuda. Untuk menjaga keamanan, dr. Muwardi meminta kepada Cudanco Latief Hendraningrat untuk menugasi beberapa orang anak buahnya berjaga-jaga di sekitar rumah Ir. Soekarno. Sesuai dengan permintaan itu, Latief menempatkan beberapa orang prajurit Peta berjaga-jaga disekitar jalan kereta api yang membujur di belakang rumah itu. Di samping itu, di ksatrian mereka di Jaga Monyet disiagakan pula pasukan yang dipimpin oleh Shodanco Arifin Abdurrahman.
            Sementara itu, Wakil Wali Kota Suwirjo memerintahkan Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan, yaitu mikrofon dan beberapa pengeras suara. Wilopo dan Nyonoprawoto berhasil meminjam peralatan tersebut dari Gunawan, pemilik took radio Satria di salemba Tengah 24. Gunawan juga mengirimkan seorang pemuda kepercayaannya untuk melayani pengunaannya.
            Sudiro (yang menagkap sebagai sekretaris Ir. Soekarno) memerintahkan S. Suhud Komandan Pengawal rumah Ir. Soekarno untuk menyiapkan satu tiang untuk menggerek bendera. Karena situasi tegang, Suhd tidak ingat bahwa di depan rumah masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan dan salah satu diantaranya dapat dipindahkan. Malahan, ia mencari sebatang bamboo yang berada di belakang rumah, kemudian dibersihkan dan diberi tali, lalu ditanam beberapa langkah dari teras. Bendera yang akan dikibarkan ialah bendera yang dijahit oleh Nyonya Fatmawati Soekarno. Bentuk dan ukuran bendera yang dijahit oleh standar karena kainnya berukuran tidak sempurna.
            Sebagaimana yang telah disepakati semula, paraanggota PPKI menjelang pukul 10.30 telah berdatangan ke Pasangan Timur. Di antara mereka adalah dr. Boentaran Martoatmodjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. Latuharhary, Abikoesno Tjokrosujoso, Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokrominoto, Oto Iskandar Dinata, Ki Hajar Dewantara, Sam Ratu Langie, K.H. Mas Mansur, Mr. Sartono, Sajuti Melik, Pandu Kartawiguna, M. Tabrani, dr. Muwardi dan A.G. Pringgodigjo.
            Rangkaian acara yang akan dilaksanakan dalam upacara itu adalah pembacaan Proklamasi, pengibaran bendera Merah Putih, dan sambutan Wali Kota Suwirjo dan dr. Muwardi. Ketika waktu mendekati pukul 10.00, sedangkan acara belum jua dimulai, para pemuda yang berdiri menunggu sejak pagi mulai tidak sabar. Mereka yang diliputi suasan tegang berkeinginan keras agar pembacaan Proklamasi segera dilakukan. Mereka mendesak dr. Muwardi agar segera mengingatkan Bung Karno bahwa hari telah siang. Karena desakan itu, dr Muwardi memberanikan diri menemui Bung Karno yang masih ada didalam kamar dan menyampaikan keinginan para pemuda. Bung Karno menolak membacakan Proklamasi sendiri tanpa tanpa hadirnya Hatta. Muwardi terus mendesak. Ia menyatakan bahwa hal itu lebih baik dikerjakan oleh Bung Karno sendiri saja tanpa kehadiran Bung Hatta sebab naskah Proklamasi sudah ditandatangani berdua. Bung Karno menjawab dengan nada marah. “Saya tidak akan membacakan Proklamasi kalau Hatta tidak ada. Kalau Mas Muwardi tidak mau menunggu, silakan membaca Proklamasi sendiri”
            Lima menit sebelum acara dimulai, Hatta datang. Ia langsung menuju ke kamar Soekarno. Beberapa menit sebelum pukul 10.00 kedua pemimpin itu keluar bersama-sama menuju tempat upacara, diiringi oleh Nyonya Fatmawati Soekarno. Upacara berlangsung tanpa protocol. Segera Latief memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda, yang telah menunggu sejak pagi. Semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief mempersilakan Bung Karno dan Bung Hatta maju beberapa langkah dari tempatnya semula. Soekarno mendekati mikrofon. Sebelum membacakan teks Proklamasi, Bung Karno menyampaikan pidato singkat. Dikatakannya bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sudah berlangsung puluhan, bahkan ratusan tahun, dan mengalami gelombang naik dan turun. Mengenai perjuangan dalam Zaman Jepang dikatakannya, “Tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakikatnya tetap kita menyusun tenaga kita sendiri.” Pada bagian akhir pidato singkat itu Bung Karno mengatakan, “Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangannya sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya.”
            Sesudah menyampaikan pidato singkat itu, Bung Karno dengan di damping Bung Hatta membacakan teks Proklamasi.
2.2 Rapat-Rapat PPKI
            Kesibukan para pemimpin sesudah proklamasi adalah menyusun tatanan kehidupan kenegaraan. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan rapat pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu rapat yang pertama sesudah Proklamasi. Memilih Presiden dan wakil presiden, yaitu Soekarno sebagi presiden dan Moh. Hatta sebagia wakilnya, serta pembentukan Komite Nasional guna membantu presiden. Soekarno-Hatta menunjuk Sembilan orang sebagai panitia kecil yang beranggotakan Oto Iskandar Dinata, Subardjo, Sajuti Melik, Iwa Kusumasumantri, Wiranata Kusuma, Dr. Amir, A.A. Hamidhan, Dr. Ratulangi, dan Ketut Pudja. Rapat diadakan di Pejambon di Gedung Departemen Luar Negeri sekarang. Sebelum rapat dimulai, Soekarno-Hatta meminta Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wachid Hasyim, Mr. Kasman Singodimejdo, dan Mr. Teuku Mohammad Hasan, untuk membahas rancangan pembukaan undang-undang dasar, yang dibuat pada 22 Juni 1945, khususnya mengenai kalimat “Keutuhan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, karena pemeluk agama lain merasa keberatan terhadap kalimat tersebut. Adanya keberatan itu diketahui Hatta sore tanggal 17 Agustus dari seorang perwira Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Perwira ini mengatakan bahwa di cantumkannya kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” akan menyebabkan penganut agama lain di daerah Indonesia Timur merasa didiskriminasikan dan karena itu mereka lebih suka berdiri di luar RI.
            Dengan di pimpin oleh Hatta, tokoh-tokoh Islam tersebut membahas masalah yang cukup sensitif itu. Di antara tokoh-tokoh ini, Ki Bagus Hadikusomo merupakan tokoh-tokoh berpaham keras “keras”, artinya ingin tetap mempertahankan tujuh kata tersebut. Sikap keras Hadikusumo dapat dilunakkan oleh T.M. Hassan dengan mengemukakan argumentasi bahwa persatuan bangsa lebih penting daripada kepentingan golongan. Akhirnya dalam waktu lima belas menit dicapat kata sepakat untuk mengganti tujuh kata tersebut dengan “Yang Maha Esa”, sehingga lengkapnya berbunyi “ Ketuhanan Yang Maha Esa”.
            Kesepakatan yang dicapai oleh tokoh-tokoh Islam itu memperlancar pembicaraan dalam rapat pleno PPKI sebab bila dibicarakan dalam rapat pleno, rapat akan memakan waktu yang lama dan berlarut-larut. Setelah bertukar pikiran itu rapat pleno PPKI dibuka pada pukul 11.30 di bawah pimpinan Soekarno dan Hatta. Rapat dihadiri oleh 27 orang anggota. Soekarno membuka rapat dengan pidato singkat. Ia mengingatkan anggota PPKI bahwa mereka berada dalam zaman yang beralih secepat kilat dank arena itu harus bertindak kilat pula. Pada akhir pidato itu dikatakannya, “Janganlah kita terlalu tertarik oleh kehendak yang kecil-kecil, tetapi marilah kita menurut garis besar saja yang mengandung sejarah.”
            Rapat pertama ini berlangsung dengan lancar. Pembahasan masalah rancangan pembukaan dan undang-undang dasar yang telah disiapkan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, berhasil dibahas dalam tempo kurang dari dua jam, disepakati bersama rancangan Pembukaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Sidang diskros pada pukul 12.50, dan akan dimulai lagi pukul 13.15. Pada awal pembukaan siding kedua ini Soekarno mengumumkan enam orang anggota PPKI, yaitu Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Mr. Kasman, Sajuti Melik, Mr. Iwa Kusumasumantri, dan Mr. Subardjo.
Sebelum meningkat ke acara baru, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden, Soekarno meminta agara disahkan Pasal III Aturan Peralihan. Kemudian Ota Iskandar Dinata mengusulkan agar pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan dengan aklamasi. Ia mengajukan calon Bung Karno sebagai presiden dan Bung Hatta sebagai wakil presiden. Semua hadirin menerima dengan aklamasi sambil menyaksikan lagu Indonesia Raya.
            Setelah acara pemilihan presiden dan wakil presiden, siding meneruskan acara membahas pasal-pasal rancangan Aturan Peralihan dan Aturan Tambahn. Dengan perubahan-perubahan kecil seluruh rancangan tersebut disepakati oleh sidang.
Presiden Soekarno menutup acara pembahasan itu dengan menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta peratuhan peralihan telah sah ditetapkan.
            Dengan demikian, pada tanggal 8 Agustus 1945 bangsa Indonesia memperoleh landasan kehidupan bernegara yang meliputi dasar Negara yakni sebuah undang-undang dasar yang kini dikenal sebagai Undang-Undang Dasar ’45. Pembentukan Undang-Undang Dasar ’45 itu mengandung dasar Negara yang kita kenal dengan “Pancasila”. Sila-sila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawarah/perwakilan, dan Keadlan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan pancasila ini dari rumusan yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 19945 yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus, yang merupakan sistesis dari rumusan yang diajukan oleh Ir. Soekarno, Muhammad Yamin, dan Prof. Supomo pada sidang pertama Dokuritsu Jumbi Cosokaiserta oleh panitia Sembilan tanggal 22 Juni sama 1945.
            Sebelum rapat PPKI pertama ini di tutup, Presiden Soekarno menunjuk Sembilan orang sebagai anggota Panitia Kecil yang ditugasi menyusun rancangan yang berisi hal-hal yang meminta perhatian mendesak, yakni pembagian wilayah Negara, kepolisian, tentara kebangsaan, dan perekonomian. Mereka adalah Oto Iskandar Dinata, Subardjo, Sajuti Melik, Iwa Kusumasumantri, Wiranatakusumah, Dr. Amir, A.A. Hamidhan, Dr. Ratulangi, dan Ketut Puja.
            Rapat dilanjutkan pada hari Minggu tanggal 19 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi. Acara pertama adalah membahas hasil kerja Panitia Kecil yang dipimpin oleh Oto Iskandar Dinata. Sebelum acara dimulai Presiden Soekarno menunjuk Mr. Ahmad Subardjo Kartohadikusumo, dan Mr. Kasman untuk membentuk Panitia Kecil yang merencanakan bentuk departemen, tetapi bukan personaliannya.
            Hasil Panitia Kecil Ota Iskandar Dinata kemudian dibahas dan menghasilkan keputusan:
a.       Pembagian Wilayah: terdiri atas 8 provinsi beserta calon gubernurnya, yaitu:
Jawa Barat;
Jawa Tengah;
JawaTimur;
Borneo (Kalimantan), calon Ir. Moh. Noor;
Sulawesi, calon Dr. Ratulangi;
Maluku, calon Mr. Latuharhary;
Sunda Kecil (Nusa Tenggara), calon Mr. Ketut Pudja;
Sumatra, calon Mr. T. Mohammad Hasan;

b.      Adanya Komite Nasional (Daerah).
Kemudian Panitia Kecil yang dipimpin oleh Mr. Ahamad Subardjo menyampaikan laporannya. Diusulkan oleh panitia itu adanya 12 kementerian. Setelah dibahas, siding memutusnya adanya:
1.      Departemen Dalam Negeri;
2.      Departemen Luar Negerei;
3.      Departemen Kehakiman;
4.      Departemen Keuangan;
5.      Departemen Kemakmuran;
6.      Departemen Kesehatan;
7.      Departemen Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan;
8.      Departemen Sosial;
9.      Departemen Pertahanan;
10.  Departemen Penerangan;
11.  Departemen Perhubungan;
12.  Departemen Pekerjaan Umum.
Departemen urusan Agama yang diusulkan oleh Panitia Subardjo di tolak oleh siding, sedangkan Departemen Kesejahteraan diganti namanya menjadi Departemen Sosial. Satu Departemen Penerangan. Dalam cabinet yang di bentuk tanggal 4 September 1945 (Kabinet Presidensial), menteri Negara hanya satu, tetapi lima orang.
Pembahasan mengenai masalah departemen ditunda, kemudian Presiden kembali membahas masalah tentara kebangsaan. Panitia kecil yang dipimpin oleh Oto Iskandar Dinata mengajukan dua usul. Pertama, menolak rencana pembelaan Negara yang disusun oleh BPUPKI sebab rencana itu, mengandung politik perang. Dalam rencana itu antara lain di sebutkan bahwa tentara Indonesia akan dibentuk kerja sama dengan Jepang dan dikukuhkan dalam perjanjian. Dalam bagian lain disebutkan perlunya mengumumkan perang terhadap Amerika, Inggris, serta Belanda dan sekutunya. Rencana ini disetujui oleh BPUPKI tanggal 16 Juli 1945. Kedua, membubarkan tentara Peta di Jawa dan di Bali serta Lasykar Rakyat (Giyugun) di Sumatera dengan alasan kesatuan militer ini merupakan buatan Jepang dan kedudukannya di dunia internasional tidak berketentuan. Sebagai gantinya di usulkan agar Presiden memanggil tokoh-tokoh yang mempunyai kemampuan militer untuk membentuk tentara kebangsaan.
Usul tersebut diterima secara aklamasi oleh siding. Urusan kepolisian oleh Panitia Kecil dimasukkan ke dalam Departemen Dalam Negeri. Sesuai usul bidang, Presiden Soekarno menunjuk Abdul Kadir, Kasman Singodimedjo, dan Ota Iskandar Dinata, untuk mempersiapkan pembentukan tentara kebangsaan. Abdul Kadir ditunjuk sebagai ketuanya.
Pembicaraan lainnya ialah mengenai perlunya ketentraman dan segera dimulainya perjuangan. Rapat pada siang hari tanggal 19 Agustus ditutup 14.55. Pada waktu Presiden dan Wakil Presiden akan pulang, mereka diminta oleh pemuda-pemuda untuk hadir pada rapat yang mereka adakan di jalan Prapatan 10.
Rapat itu dipimpin oleh Adam Malik bersama Mr. Kasman dan Ki Hadjar Dewantara. Hadir pula disitu Sutan Sjahrir. Mereka mengharapkan agar Soekarno-Hatta melakukan perebutan kekuasaan terhadap Jepang yang diatur dengan cepat dan serentak. Presiden Soekarno memberikan tanggapan bahwa apa yang mereka kehendaki tidak dapat dilakukan tergesa-tergesa. Para pemuda menolak pendapat Presiden, yang dianggapnya berbahaya, dan merugikan bangsa Indonesia di mata dunia. Adam Malik kemudian membacakan dekrit mengenai lahirnya Tentara Republik Indonesia yang berasal dari bekas Peta, Heiho. Bung Karno dan Hatta menyetujui usul pemuda tersebut, tetapi belum dapat memutuskan pada saat itu. Rapat kemudian bubar.
Pada tanggal 19 Agustus 1945 itu dijalan Gambir Selatan (sekarang Merdeka Selatan) No. 10, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta Mr. Sartono, Suwirjo, Oto Iskardan Dinata, Sukarjo Wirjopranoto, dr. Buntaran. Mr. A.G. Pringgodigdo, Sutardjo Kartohadikusumo, dan dr. Tajuluddin, berkumpul untuk membahas siapa saja yang akan diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Disepakati anggota KNIP berjumlah 60 orang. Rapat pertama KNIP direncankan tanggal 29 Agustus 1945 malam, bertempat di Gedung Komidi, Jalan Pos (sekarang Gedung Kesenian) Pasar Baru, Jakarta. Rapat PPKI di lanjutkan kembali pada tanggal 22 Agustus 1945. Dalam rapat ini diputuskan tiga persoalan pokok yang sudah dibahas dalam rapat-rapat sebelumnya, yakni pembentukan Komite Nasional, Partai Nasional Indonesia, dan Badan Keamanan Rakyat.
Komite Nasional Indonesia akan dibentuk di tingkat pusat dan tingkat daerah. Tujuan Komite, seperti dijelaskan Presiden Soekarno, antara lain mempersatukan semua lapisan dan bidang pekerjaan agar tercapai solidaritas dan kesatuan nasional yang erat dan utuh, membantu menerentamkan rakyat dan melindungi keamanan serta membantu para pemimpin untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Di tingkat pusat, pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI), yang kemudian dikenal dengan nama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), diresmikan pada tanggal 22 Agustus 1945. Anggotanya berjumlah 137 orang, dan Mr. Kasman Singodimedjo diangkat sebagai ketua dibantu oleh tiga wakil ketua, yakni Sutardjo Kartohadikusumo (Wakil Ketua I), Mr. Johannes Latuharhary (Wakil Ketua II), dan Adam Malik (Wakil Ketua III). Dengan terbentuknya KNIP, tugas PPKI pun berakhir. Pembentukan KNIP dengan cepat diikuti oleh pembentukan KNI Daerah (KNID). Sejak awal September 1945 sudah terbentuk diberbagai daerah tingkat keresidenan sampai tingkat desa.
Dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 disebutkan bahwa Komite Nasional adalah sebuah badan yang bertugas membantu presiden menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA sebelum lembaga-lembaga eksekutif. Pada tanggal 7 Oktober 1945 kelompok pemuda dalam KNIP mengajukan petisi yang ditandatangani oleh lima puluh orang kepada Presiden Soekarno agar KNIP diberi wewenang legislative. Berdasarkan petisi itu, pada tanggal 16 Oktober 1945 Wakil Presiden Hatta mengeluarkan maklumat No. X yang menyatakan bahwa sebelum MPR dan DPR terbentuk, KNIP diberi kekuasaan legislative dan ikut serta menentukan garis-garis besar haluan Negara. Ditanyakan pula bahwa tugas sehari-hari KNIP dijalankan oleh Badan Pekerja KNIP (BP KNIP).
Sehari kemudian, juga diatas desakan golongan pemuda dalam KNIP, dilangsungkan pemilihan pimpinan baru. Sutan Sjahrir diangkat menjadi wakil ketua yang sekaligus juga menjadi Ketua dan Wakil Ketua BP KNIP. Setelah Sjahrir menjadi Perdana Mentri, kedudukannya diganti oleh Mr. Assaat yang memegang jabatan tersebut sampai akhir tahun 1949.
Selama keberadaannya, KNIP mengadakan lima kali siding pleno. Sidang yang “terpanas” adalah siding tanggal 25 Februari sampai 6 Maret 1947 di Malang, berkaitan dengan penambahan jumlah anggota dalam rangka meratifikasi hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebagian badan pembuat dan pengesah undang-undang, KNIP menghasilkan 13 undang-undang dan 32 peraturan.
Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk pada akhir tahun 1949 dan RI menjadi bagian dalam RIS, KNIP berfungsi sebagai perlemen RI. Dalam DPR RIS, 42 orang antara 150 anggotanya berasal lain. Mr. Assaat sebagai Pejabat Presiden RI dan dr. A. Halim sebagai Perdana Menteri RI.
Berbeda dengan KNI yang bertahan sampai akhir Perang Kemerdekaan, PNI sebagai partai Negara hanya bertaham salam bilangan hari. PNI dimaksudkan sebagai wadah untuk memperkuat persatuan bangsa, memperbesar asa cinta, setia, dan bakti kepada tanah air. Pemimpin partai terdiri atas pengurus besar, pengurus daerah, dan pengurus cabang. Setiap orang Indonesia yang sudah berumur 18 tahun keatasa berhak menjadi anggota. Presiden Soekarno mengatakan bahwa PNI akan menjadi motor perjuangan rakyat dalam segala urusan dan lapangan. Berbeda dengan KNI yang merupakan sebuah komite yang diadakan untuk sementara, PNI dimaksudkan akan hidup terus pada massa yang akan datang.
Pengurus harian PNI diumumkan pada tanggal 27 Agustus 1945. Mereka adalah Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, Mr. Sudjono, Wikana dan Mr. A.A. Maramis. Dua hari kemudian, diumumkan pengurus yang lebih lengkap terdiri atas Ir. Soekarno (Pemimpin Besar Pertama), Drs. Mohammad Hatta (Pemimpin Besar Kedua), Mr. Gatot Tarunamihardja (Pemimpin Umum atau disebut juga Ketua Partai), Abikusno Tjokrosujoso (Ketua Umum Seksi Politik), dan dr. Muwardi (Ketua Seksi Organisasi).
Pembentukan PNI sebagai partai Negara ini mengundang reaksi penolakan berbagai pihak. Partai ini dianggap sangat “berbau” Jawa Hokokaisebab sebagian besar anggotanya adalah orang yang dahulu duduk dalam organisasi buatan Jepang itu. Partai ini Juga tidak mewakili segenap golongan dalam masyarakat. Golongan Islam, misalnya, sangat sedikit diwakili, dan tidak seorang pun tokoh utama gerakan bawah tanah pada masa Pendudukan Jepang yang diikutsertakan. Lagi pula, PNI dianggap akan menggusur peran KNI. Dari 34 anggota pengurus PNI, hanya 4 orang yang bukan anggota KNI.
Sjahrir dan kelompoknya mengangap pembentukan partai tunggal bertentangan dengan paham demokrasi. Ia mengindetifikasikan PNI dengan partai Nazi di Jerman dan partai Fasis di Italia sebelum Perang Dunia II. Karena sebagian besar anggotanya adalah bekas anggota Jawa Hokokai, diperkirakan pihak luar, terutama Negara-negara Sekutu, akan menganggap partai ini buatan Jepang. Hal itu akan mempersulit usaha pemerintahan untuk memperoleh pengakuan dari luar negeri.
Akibat banyaknya reaksi menolak, pada tanggal 3 Agustus pembentukan PNI dibatalkan, atau seperti dikatakan Presiden Soekarno, “untuk sementara waktu ditunda”, sebab segala aktiviteitharus dicurahkan kedalam Komite Nasional Indonesia yang kedudukannya sangat penting untuk memusatkan segala tindakan dan susunan rakyat. Akan tetapi, di beberapa daerah cabang-cabagng partai ini sudah terbentuk atau dalam proses pembentukan, seperti di Palembang dibawah pimpinan dr. A.K. Gani dan di Makassar di bawah pimpinan Manai Sophiaan.
Keputusan PPKI tanggal 22 Agustus tentang pembentukan BKR merupakan perubahan dari keputusan untuk membentuk tentara kebangsaan yang diambil dalam siding tanggal 19 Agustus. Rapat PPKI yang ketiga dilakukan pada tanggal 22 Agustus 1945. Dalam rapat ini diputuskan tiga persoalan pokok yang sudah dibahas yakni: pembentukan Komite Nasional, Partai Nasional Indonesia, dan Membentuk Badan Keamanan Rakyat.

2.3 Perjuangan Awal Merebut dan Menegakkan Kedaulatan
2.3.1 Merebut Kekuasaan
            Sesudah proklamasi terjadilah bentrokan antara pemuda indonesia dengan aparat jepang, tujuan dari bentrok pemuda indonesia ini melawan aparat jepang adalah untuk merebut kekuasaan guna menegakkan kedaulatan republik indonesia serta memperoleh senjata. Dalam bentrokan ini di daerah jakarta para pemuda yang dipelopori oleh komite van aksi menteng 31 merencanakan untuk mengerahkan masa pada suatu rapat akbar di lapangan IKADA jakarta , agar para pimpinan RI dapat berbicara dengan masayarakat .
            Rencana ini dilaksankan dengan 2 cara yaitu: Persiapan pengerahan massa dan menyerahkan rencana itu kepada presiden. Pada prinsipnya persiden Soekarno dan wakil presiden Moh Hatta setuju, de mikian pula para menteri. Yang menjadi persoalan bagi pemerintah adalah bagaimana sikap penguasa jepang setelah mereka menyerah dan menjadi alat serikat. Apakah mereka memusuhi mereka atau tidak. Seandainya mereka memusuhi kita, pasti akan terjadi malapetaka hebat yang akan menimpa massa rakyat. Masalah yang sulit ini kemudian dibicarakan dalam sidang kabinet bertempat di kediaman presiden. Sidang berlangsung sampai dinihari tanggal 19 september 1945.
            Sidang tidak menghasilkan keputusan bulat dan akhirnya ditangguhkan sampai pukul 10 pagi, sidang dimulai lagi kemudian pada pukul 10 di lapangan banteng barat yang dihadiri juga oleh para pemipin pemuda. Para pemimpin pemuda menyatakan agar rapat tidak dibatalkan, sementara itu massa sudah berbondong-bondong membanjiri lapangan ikada untuk mendengarkan pidato-pidato para pemimpin-pemimpinnya. Suasana menjadi sangat tegang setelah lapangan Ikada dijaga ketat oleh pasukan bersenjata jepang, yang juga mengerahkan tank-tanknya. Sewaktu-waktu bisa terjadi bentrokan berdarah, akhirnya sidang memutuskan agar para pemimpin datang untuk berhadapan muka dengan massa guna meminta kesediaan mereka untuk mematuhi perintah-perintahnya. Selanjutnya menyerukan kepada mereka supaya bubar dan pulang ke rumah masing-masing.
            Kemudian presiden dan wakil presiden serta para menteri menuju lapangan ikada, pada waktu itu lapangan ikada telah melimpah ruah dengan berbagai masa yang telah membawa berbagai macam senjata tajam. Tampak pula pasukan jepang suda siap dengan senjatanya. Setelah kedatanganya bung karno langsung naik panggung, bung karno dalam pidatonya meminta supaya rakyat indonesia percaya dan mendukung pemerintah republik indonesia dan tunduk pada disiplin. Kemudian ia meminta rakyat untuk bubar. Rapat raksasa 19 september 1945 itu adalah manifestasi kewibawaan pemerintah republik indonesia kepada rakyatnya.
Pada bulan September 1945, beberapa pemimpin karesidenan di Jawa menyambut Proklamasi Kemerdekaan dengan menyatakan diri sebagai bagian dari Pemerintahan Republik Indonesia dan mengancam akan melakukan tindakan keras terhadap segala tindakan yang menentang Pemerintah Republik Indonesia.
Pegawai-pegawai Jepang dirumahkan dan dilarang memasuki kantor-kantor mereka. Tahap berikutnya, para pemuda berusaha untuk merebut senjata dan gedung-gedung vital.
Selama bulan September di Surabaya terjadi perebutan senjata di arsenal (gudang mesiu) Don Bosco, perebutan Markas Pertahanan Jawa Timur, perebutan Pangkalan Angkatan Laut Ujung, dan perebutan markas-markas Jepang lainnya serta perebutan pabrik-pabrik yang tersebar di seluruh kota. Pada tanggal 19 September 1945, terjadi Insiden Bendera di Hotel Yamato. Insiden ini terjadi ketika orang-orang Belanda bekas tawanan Jepang menduduki Hotel Yamato dengan dibantu oleh serombongan pasukan Sekutu, mengibarkan bendera Belanda di puncak hotel. Hal ini memancing kemarahan para pemuda. Oleh karena itu Residen Sudirman dengan cara baik-baik meminta agar bendera Belanda tersebut diturunkan. Setelah permintaan itu ditolak, maka hotel itu diserbu oleh para pemuda dan bentrokan pun tidak dapat dihindarkan. Beberapa pemuda berhasil memanjat atap hotel dan menurunkan bendera Belanda. Selanjutnya mereka merobek warna birunya dan mengibarkannya kembali menjadi merah-putih.
Sasaran berikutnya adalah Markas Kempetai yang terletak di depan kantor gubernur sekarang, karena dianggap sebagai lambang kekejaman Jepang. Markas tersebut diserbu oleh rakyat pada tanggal 1 Oktober 1945. Setelah melalui pertempuran selama kurang lebih 5 jam, gedung itu jatuh ke tangan rakyat. Dalam pertempuran itu 25 orang pemuda gugur dan 60 luka-luka serta sebanyak 15 orang prajurit Jepang Meninggal.
Di Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi pemogokan. Mereka mendesak Jepang agar menyerahkan semua kantor kepada Pemerintah RI. Sementara itu, para pemuda yang tergabung dalam BKR berusaha untuk memperoleh senjata dari pihak Jepang. Usaha melucuti tentara Jepang melalui jalan perundingan sama sekali gagal. Pada malam hari tanggal 7 Oktober 1945, para pemuda BKR bersama dengan Polisi Istimewa bergabung menuju ke Kota Baru. Mereka menyerbu tangsi Otsuka Butai (sekarang gedung SMA di sebelah sentral telepon). Pada hari itu juga Otsuka Butai menyerah. Dalam penyerbuan itu sebanyak 18 orang pemuda polisi gugur.
Di Bandung, pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut Pangkalan Udara Andir dan bekas senjata ACW (Artillerie Contructie Winkel). Perjuangan itu terus berlangsung sampai dengan kedatangan pasukan Sekutu di kota Bandung pada tanggal 17 Oktober 1945.
Di Semarang terjadi pertempuran yang dahsyat antara para pemuda Indonesia melawan Jepang. Pada tanggal 14 Oktober 1945 sekitar 400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring diangkut oleh pemuda Indonesia untuk dibawa ke Penjara Bulu di Semarang. Sebelum sampai di Penjara Bulu, sebagian tawanan itu melarikan diri dan minta perlindungan kepada batalyon Kido. Para pemuda menjadi marah dan mulai merebut kantor-kantor pemerintah. Orang-orang Jepang yang ditemui disergap dan ditawan. Pada keesokan harinya pasukan Jepang menyerbu kota Semarang dari tangsinya di Jatingaleh. Sejak saat itulah berlangsung Pertempuran Lima Hari di Semarang. Korban yang jatuh di pertempuran ini diperkirakan sebanyak 990 orang.
Di Sulawesi Selatan pada tanggal 19 Agustus 1945, rombongan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi, mendarat di Sapiria, Bulukumba. Setibanya di Ujung Pandang (Makassar), gubernur mulai menyusun pemerintahan dengan mengangkat Mr. Andi Zainal Abidin sebagai sekretaris daerah. Akan tetapi, para pemuda menganggap tindakan gubernur terlalu berhati-hati. Oleh karena itu, pada pemuda mulai merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital, seperti stasiun radio dan tangsi polisi. Kelompok pemuda tersebut terdiri atas kelompok Barisan Berani Mati (Bo-ei Tai-shin), bekas Kaigun Heiho dan pelajar SMP. Pada tanggal 28 Oktober 1945 mereka bergerak menuju sasaran dan mendudukinya. Mengetahui tindakan pemuda itu, pasukan Australia yang sudah ada sebelumnya bergerak dan melucuti para pemuda. Karena terdesak, maka pusat gerakan pemuda dipindahkan dari Ujung Pandang ke Polombangkeng.
Di Sulawesi Utara, sekalipun telah hampir setengah tahun dikuasai NICA, usaha para pemuda untuk menegakkan kedaulatan RI tidaklah padam. Pada tanggal 14 Februari 1946, pemuda-pemuda Indonesia anggota KNIL yang telah tergabung dalam Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) bergerak menuju Tangsi Putih dan Tangsi Hitam di Teling, Manado. Mereka membebaskan para tahanan yang dianggap pro-Republik Indonesia. Sebaliknya mereka menahan Komandan Garnisun Manado dan semua pasukan Belanda di Teling dan penjara Manado. Bahkan kemudian para pemuda menguasai markas Belanda di Tomohon dan Tondano. Selanjutnya mereka mengirim berita perebutan kekuasaan itu ke pemerintahan pusat di Yogyakarta. Pemerintahan sipil dibentuk pada tanggal 16 Februari 1946. B.W. Lapian diangkat sebagai residennya. Satuan tentara lokal juga dibentuk dengan pimpinan kolektif, yaitu Ch. Taulu, S.D. Wuisan, dan J. Kaseger.
Di Kalimantan, di beberapa kota sudah mulai timbul gerakan mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI. Pada waktu itu tentara Australia sudah mendarat dan mengeluarkan ultimatum melarang semua aktivitas politik, seperti demonstrasi, menyelenggarakan rapat-rapat, dan mengibarkan bendera Merah Putih. Akan tetapi, kaum nasionalis tetap melaksanakannya. Di Balikpapan, pada tanggal 14 November 1945, sejumlah 8.000 orang berkumpul di depan komplek NICA sambil membawa bendera Merah Putih.
Di Pulau Sumbawa, pemuda-pemuda Indonesia pada bulan Desember 1945 berusaha merebut senjata dari Jepang. Di Gempe terjadi bentrokan antara 200 pemuda melawan Jepang. Di Sape sekitar 400 pemuda berusaha merebut senjata di markas Jepang. Hal yang sama juga terjadi di Raba.
Di Bali para pemuda pada akhir bulan Agustus telah membentuk beberapa organisasi pemuda seperti AMI dan Pemuda Republik Indonesia (PRI). Mereka berusaha menegakkan kedaulatan RI melalui perundingan, tetapi mendapatkan hambatan dari pihak Jepang. Oleh karena itu, pada tanggal 13 Desember 1945 mereka melakukan gerakan serentak untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Akan tetapi, hal itu juga mengalami kegagalan.
Di Banda Aceh pada tanggal 6 Oktober 1945 para pemuda dan tokoh masyarakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Pada tanggal 12 Oktober 1945 Shucokan Jepang memanggil pada pemimpin pemuda. Ia menyatakan bahwa walaupun Jepang telah kalah, tetapi keamanan masih menjadi tanggung jawab mereka. Oleh karena itu, ia meminta semua kegiatan mendirikan perkumpulan yang tanpa izin dihentikan dan perkumpulan yang sudah terlanjur dibentuk, supaya dibubarkan. Para pemimpin pemuda menolak keras. Sejak hari itu dimulailah perebutan dan pengambilalihan kantor-kantor pemerintah dengan pengibaran bendera Merah Putih. Bentrokan dengan pasukan Jepang terjadi di Langsa, Lho’Nga, Ulee Lheue, dan lain-lain.
Di Sumatera Selatan perebutan kekuasaan terjadi pada tanggal 8 Oktober 1945. Peristiwa itu terjadi ketika Residen Sumatera Selatan dr. A.K. Gani bersama seluruh pegawai Gunseibu melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih. Pengibaran bendera Merah Putih juga dilakukan oleh para pegawai di kantor masing-masing. Pada hari itu juga diumumkan bahwa di seluruh karesidenan Palembang hanya ada satu kekuasaan, yaitu Republik Indonesia. Perebutan kekuasaan di Palembang berlangsung tanpa insiden, sebab orang-orang Jepang telah menghindar ketika peristiwa itu terjadi.

2.3.2 Pertempuran Surabaya
Pada tanggal 25 Oktober 1945 Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A W.S. Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Brigade ini merupakan bagian dari Divisi India ke-23, dibawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan tawanan Sekutu. Pasukan ini berkekuatan 6000 personil di mana perwira-perwiranya kebanyakan orang-orang Inggris dan prajuritnya orang-orang Gurkha dari Nepal yang telah berpengalaman perang. Rakyat dan pemerintah Jawa Timur di bawah pimpinan Gubernur R.M.T.A Suryo semula enggan menerima kedatangan Sekutu. Kemudian antara wakil-wakil pemerintah RI dan Birgjen AW.S. Mallaby mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1)      Inggris berjanji mengikutsertakan Angkatan Perang Belanda.
2)      Disetujui kerja sama kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman.
3)      Akan dibentuk kontak biro agar kerja sama berjalan lancar.
4)      Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang.

Pada tanggal 26 Oktober 1945 pasukan Sekutu melanggar kesepakatan terbukti melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan para tawanan Belanda di antaranya adalah Kolonel Huiyer. Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka. Rakyat Surabaya dan TKR bertekad untuk mengusir Sekutu dari bumi Indonesia dan tidak akan menyerahkan senjata mereka. Kontak senjata antara rakyat Surabaya melawan Inggris terjadi pada tanggal 27 Oktober 1945. Para pemuda dengan perjuangan yang gigih dapat melumpuhkan tank-tank Sekutu dan berhasil menguasai objek-objek vital. Strategi yang digunakan rakyat Surabaya adalah dengan mengepung dan menghancurkan pemusatan-pemusatan tentara Inggris kemudian melumpuhkan hubungan logistiknya. Serangan tersebut mencapai kemenangan yang gemilang walaupun di pihak kita banyak jatuh korban. Pada tanggal 29 Oktober 1945 Bung Karno beserta Jenderal D.C. Hawthorn tiba di Surabaya.
Dalam perundingan antara pemerintah RI dengan Mallaby dicapai kesepakatan untuk menghentikan kontak senjata. Kesepakatan ini dilanggar oleh pihak Sekutu. Dalam salah satu insiden, Jenderal Mallaby terbunuh. Dengan terbunuhnya Mallaby, pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban kepada rakyat Surabaya. Pada tanggal 9 November 1945 Mayor Jenderal E.C. Mansergh sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Ultimatum itu isinya agar seluruh rakyat Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya menyerahkan diri dengan senjatanya, mengibarkan bendera putih, dan dengan tangan di atas kepala berbaris satu-satu. Jika pada pukul 06.00 ultimatum itu tidak diindahkan maka Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut dan udara. Ultimatum ini dirasakan sebagai penghinaan terhadap martabat bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Oleh karena itu rakyat Surabaya menolak ultimatum tersebut secara resmi melalui pernyataan Gubernur Suryo. Karena penolakan ultimatum itu maka meletuslah pertempuran pada tanggal 10 Nopember 1945. Melalui siaran radio yang dipancarkan dari Jl. Mawar No.4 Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek Surabaya. Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul 18.00. Pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu Divisi infantri sebanyak 10.000 - 15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh kapal perang penjelajah “Sussex” serta pesawat tempur “Mosquito” dan “Thunderbolt”.
Dalam pertempuran di Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu membahu, baik dari TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR maupun TKR laut di bawah Komandan Pertahanan Kota, Soengkono. Pertempuran yang berlangsung sampai akhir November 1945 ini rakyat Surabaya berhasil mempertahankan kota Surabaya dari gempuran Inggris walaupun jatuh korban yang banyak dari pihak Indonesia. Oleh karena itu setiap tanggal 10 November bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Hal ini sebagai penghargaan atas jasa para pahlawan di Surabaya yang mempertahankan tanah air Indonesia dari kekuasaan asing.

2.3.3 Pertempuran Ambarawa
Kedatangan Sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigadir lenderal Bethel semula diterima dengan baik oleh rakyat karena akan mengurus tawanan perang. Akan tetapi, secara diam-diam mereka diboncengi NICA dan mempersenjatai para bekas tawanan perang di Ambarawa dan Magelang. Setelah terjadi insiden di Magelang antara TKR dengan tentara Sekutu maka pada tanggal 2 November 1945 Presiden Soekarno dan Brig.Jend. Bethel mengadakan perundingan gencatan senjata.
Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu mundur dari Magelang ke Ambarawa. Gerakan ini segera dikejar resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini dan meletuslah pertempuran Ambarawa. Pasukan Angkatan Muda di bawah Pimpinan Sastrodihardjo yang diperkuat pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta menghadang Sekutu di desa Lambu. Dalam pertempuran di Ambarawa ini gugurlah Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya Letnan Kolonel Isdiman, komando pasukan dipegang oleh Kolonel Soedirman, Panglima Divisi di Purwokerto. Kolonel Soedirman mengkoordinir komandan-komandan sektor untuk menyusun strategi penyerangan terhadap musuh. Pada tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR berhasil mengepung musuh yang bertahan di benteng Willem, yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa. Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa di kepung. Karena merasa terjepit maka pada tanggal 15 Desember 1945 pasukan Sekutu meninggalkan Ambarawa menuju ke Semarang.

2.3.4 Pertempuran Medan Area
Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan yang diangkat menjadi Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oleh pemerintah untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia di Sumatera dengan membentuk Komite Nasional Indonesia di wilayah itu. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di Sumatera Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly. Serdadu Belanda dan NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih pemerintahan. Pasukan Sekutu membebaskan para tawanan atas persetujuan Gubernur Teuku M. Hassan. Para bekas tawanan ini bersikap congkak sehingga menyebabkan terjadinya insiden di beberapa tempat.
Achmad Tahir, seorang bekas perwira tentara Sukarela memelopori terbentuknya TKR Sumatra Tirnur. Pada tanggal l0 Oktober 1945. Di samping TKR, di Sumatera Timur terbentuk Badan-badan perjuangan dan laskar-laskar partai. Pada tanggal 18 Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly memberikan ultimatum kepada pemuda Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Bagaimana sikap para pemuda kita? Mereka dengan gigih membalas setiap aksi yang dilakukan pihak Inggris dan NICA. Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu melancarkan serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat tempur. Pada bulan April 1946 pasukan Inggris berhasil mendesak pemerintah RI ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat Medan terus berjuang dengan membentuk Lasykar Rakyat Medan Area.
Selain di daerah Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan Bukittinggi pertempuran berlangsung sejak bulan November 1945. Sementara itu dalam waktu yang sama di Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu. Dalam pertempuran ini Sekutu memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi perlawanan rakyat sehingga pecah pertempuran yang dikenal dengan peristiwa Krueng Panjol Bireuen. Pertempuran di sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin sengit ketika pihak rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku Nyak Arif. Dalam pertempuran ini pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian di seluruh Sumatera rakyat bersama pemerintah membela dan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia terjadilah peristiwa-peristiwa baik di tingkat pusat maupun daerah. Peristiwa-peristiwa tersebut di antaranya Bandung Lautan Api, Puputan Margarana, Peristiwa Westerling di Makassar, dan Serangan umum 1 Maret 1949.

2.4 Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
2.4.1 Aktivitas Diplomasi Indonesia di Dunia Internasional untuk Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Pertemuan antara wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin Indonesia diprakarsai oleh Pang lima AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945. Dalam pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Sobardjo, dan H. Agus Salim, sedangkan pihak Belanda diwakili Van Mook dan Van Der Plas. Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk menjajagi kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih. Presiden Soekamo mengemukakan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk berunding atas dasar pengakuan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Sedangkan Van Mook mengemukakan pandangannya mengenai masalah Indonesia di masa depan bahwa Belanda ingin menjalankan untuk Indonesia menjadi negara persemakmuran berbentuk federal yang memiliki pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda akan memasukkan Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan Van Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen, bahkan Van Mook akan dipecat dari jabatan wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Indonesia).
Untuk mempertemukan pihak Indonesia dengan pihak Belanda, pemerintah Inggris mengirimkan seorang diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah. Pada tanggal 10 Februari 1946 perundingan Indonesia-Belanda dimulai. Pada waktu itu Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai berikut:
1)      Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.
2)      Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.
Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara lain sebagai berikut:
1)      Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.
2)      Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
Usul dari pihak Indonesia di atas tidak diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya Van Mook secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federal dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru kepada Van Mook antara lain sebagai berikut:
1)      Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan Sumatera.
2)      Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
3)      RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda.
           
Pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri Belanda) terjadi perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda, Perundingan yang berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda tidak bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatra tetapi hanya Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul bagi pemerintahannya kepada pihak RI.Walaupun Perundingan Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan tetapi dalam prinsipnya bentuk-bentuk kompromi antara Indonesia dan Belanda sudah diterima dan dunia memandang bahwa bentuk-bentuk tersebut sudah pantas. Oleh karena itu pemerintah Inggris masih memiliki perhatian besar terhadap penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda dengan mengirim Lord Killearn sebagai pengganti Prof Schermerhorn. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam perundingan ini masalah gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:
1)      Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
2)      Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.

Dalam mencapai kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda diadakanlah Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal 10 November 1946 di Linggajati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sjahrir, dengan anggotaanggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Sjarifoeddin, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris untuk Asia Tenggara. Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah sebagai berikut:
1)      Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
2)      Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
3)      Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Meskipun isi perundingan Linggajati masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda, akan tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional kuat karena Inggris dan Amerika memberikan pengakuan secara de facto. Perbedaan penafsiran mengenai isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya Belanda melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947.

2.4.2 Agresi Militer Pertama
Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling|pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto|Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaituPersetujuan Linggarjati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
Atas prakasa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam sebuah perundingan. Perundingan ini dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan Renville ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. Hasil perundingan Renville baru ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 yang intinya sebagai berikut. 
1)      Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).
2)      Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia Serikat.
3)      Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland.

Akibat dari perundingan Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera menjadi lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI bersedia menandatangani perjanjian ini karena beberapa alasan di antaranya adalah karena persediaan amunisi perang semakin menipis sehingga kalau menolak berarti belanda akan menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak adanya jaminan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa pemungutan suara akan dimenangkan pihak Indonesia.

2.4.3 Agresi Militer kedua
Ketika Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia mempunyai pandangan yang berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia berpendirian bahwa di Indonesia harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan pemerintah kolonial dengan tindakan militer. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan tidak terikat dengan Perundingan Renville dan dilanjutkan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang ibu kota Rl yang berkedudukan di Yogyakarta
Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. MenteriLaoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk diSumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.
Dengan peristiwa agresi militer belanda kedua ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesian atau UNCI). Komisi ini bertugas membantu melancarkan perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Mei 1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut.
1.      Pernyataan Mr. Moh Roem.
a)      Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
b)      Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c)      Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
2)      Pernyataan Dr. Van Royen
a)      Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b)      Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c)      Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerah-daerah yang dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.
d)     Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
e)      Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta

Konferensi Meja Bundar
            Salah satu pernyataan Roem-Royen adalah segera diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter - Indonesia antara wakil-wakil Republik Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg) atau Pertemuan Permusyawarahan Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali yakni tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli - 2 Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam konferensi ini ialah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia
Salah satu pernyataan Roem-Royen adalah segera diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter - Indonesia antara wakil-wakil Republik Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg) atau Pertemuan Permusyawarahan Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali yakni tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli - 2 Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam konferensi ini ialah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesiaatas penyerahan kedaulatan tanpa ikatanikatan politik ataupun ekonomi. Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diadakanlah Konferensi Meja Bundar di Den Haag (Belanda). Sebagai ketua KMB adalah Perdana Menteri Belanda, Willem Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, dan delegasi Be1anda dipimpin Van Maarseveen sedangkan dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh Chritchley. Pada tanggal 2 November 1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari persetujuan KMB adalah sebagai berikut.
1.      Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember 1949.
2.      Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
3.      Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia - Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
4.      Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
5.      Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.

Dari hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949 Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 1949 diadakanlah penandatanganan pengakuan kedaulatan di negeri Belanda. Pihak Belanda ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen. Sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink menandatangani naskah pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini maka Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni Republik Indonesia Serikat (RIS).










BAB III
PENUTUP

3. 1.          Kesimpulan
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis diruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Sesudah proklamasi terjadilah bentrokan antara pemuda indonesia dengan aparat jepang, tujuan dari bentrok pemuda indonesia ini melawan aparat jepang adalah untuk merebut kekuasaan guna menegakkan kedaulatan republik indonesia serta memperoleh senjata. Dalam bentrokan ini di daerah jakarta para pemuda yang dipelopori oleh komite van aksi menteng 31 merencanakan untuk mengerahkan masa pada suatu rapat akbar di lapangan IKADA jakarta , agar para pimpinan RI dapat berbicara dengan masayarakat.Di Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi pemogokan.Di Bandung, pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut Pangkalan Udara Andir dan bekas senjata ACW (Artillerie Contructie Winkel).Di Semarang terjadi pertempuran yang dahsyat antara para pemuda Indonesia melawan Jepang. Selain daerah-daerah tersebut, hampir di semua daerah atau wilayah di Indonesia melakukan perebutan kekuasaaan dan menegakkan kemerdekaan.
Pada tanggal 29 September 1945 akhirnya Sekutu mendarat di Indonesia yang bertugas melucuti tentara Jepang. Semula rakyat Indonesia menyambut dengan senang hati kedatangan Sekutu, karena mereka mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di bawah pimpinan Van der Plass dan Van Mook ikut di dalamnya, sikap rakyat Indonesia menjadi curiga dan bermusuhan. NICA adalah organisasi yang didirkan orang-orang Belanda yang melarikan diri ke Australia setelah Belanda menyerah pada Jepang. Organisasi ini semula didirikan dan berpusat di Australia. Keadaan bertambah buruk karena NICA mempersenjatai kembali KNIL setelah dilepas oleh Sekutu dari tawanan Jepang. Adanya keinginan Belanda berkuasa di Indonesia menimbulkan pertentangan, bahkan diman-mana terjadi pertempuran melawan NICA dan Sekutu. Belanda melakukan dua kali agresi militer ke indonesia. Agresi militer Belanda I dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947 dan agresi Belanda II pada tanggal 19 Desember 19948.

           









DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta; Balai Pustaka

Pour, Julius. 2013. Djakarta 1945 Awalak Revolusi Kemerdekaan. Jakarta; Bhuana Ilmu Populer

Indra, Muhammad Ridwan. 1989. Peristiwa-Peristiwa Sekitar Proklamasi 17-8-1945. Jakarta; Sinar Grafika

Samani, P.R. 1989. Jejak Revolusi 1945 Sebuah Kesaksian Sejarah. Jakarta; Temprint

Tidak ada komentar:

Posting Komentar