BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Malaysia adalah sebuah negara federasi yang terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga
wilayah persekutuan di Asia Tenggara
dengan luas 329.847 km persegi. Ibukotanya adalah Kuala Lumpur,
sedangkan Putrajaya
menjadi pusat pemerintahan persekutuan. Jumlah penduduk negara ini melebihi 27
juta jiwa. Negara ini dipisahkan ke dalam dua kawasan — Malaysia
Barat dan Malaysia Timur — oleh Kepulauan
Natuna, wilayah Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Malaysia berbatasan
dengan Thailand,
Indonesia,
Singapura,
Brunei,
dan Filipina.
Negara ini terletak di dekat khatulistiwa dan beriklim tropika.
Kepala negara
Malaysia adalah Yang di-Pertuan Agong dan pemerintahannya
dikepalai oleh seorang Perdana Menteri.
Malaysia sebagai negara
persekutuan tidak pernah ada sampai tahun 1963. Sebelumnya, sekelompok koloni
didirikan oleh Britania Raya pada akhir abad ke-18, dan bagian barat Malaysia modern terdiri dari beberapa kerajaan yang terpisah-pisah. Kelompok wilayah jajahan itu dikenal sebagai Malaya Britania sampai pembubarannya pada 1946, ketika kelompok itu disusun kembali sebagai Uni Malaya . Karena semakin meluasnya tentangan, kumpulan itu lagi-lagi disusun kembali sebagai Federasi Malaya pada tahun 1948 dan kemudian meraih kemerdekaan pada 31 Agustus 1957 .
Singapura nama resminya Republik Singapura, adalah sebuah negara pulau
di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya , 137 kilometer (85 mil) di utara khatulistiwa di Asia Tenggara . Negara ini terpisah dari Malaysia oleh Selat Johor
di utara, dan dari Kepulauan Riau , Indonesia
oleh Selat Singapura di selatan. Singapura adalah pusat keuangan terdepan keempat di dunia dan sebuah kota dunia
kosmopolitan yang memainkan peran penting dalam perdagangan dan keuangan internasional. Pelabuhan Singapura adalah satu dari lima pelabuhan tersibuk di dunia .
Pada 28 Januari 1819, Thomas
Stamford Raffles mendarat di pulau utama di Singapura. Setelah
melihat potensinya sebagai pos dagang strategis untuk kawasan Asia Tenggara,
Raffles menandatangani perjanjian dengan Sultan Hussein Shah atas
nama Perusahaan
Dagang Hindia Timur Britania pada tanggal 6 Februari 1819 untuk
mengembangkan bagian selatan Singapura sebagai pos dagang dan permukiman Britania.
Brunei Darussalam adalah negara
berdaulat di Asia Tenggara yang terletak di pantai utara pulau
Kalimantan.
Negara ini memiliki wilayah seluas 5.765 km² yang menempati pulau Borneo
dengan garis pantai seluruhnya menyentuh Laut Cina
Selatan. Wilayahnya dipisahkan ke dalam dua negara bagian di Malaysia
yaitu Sarawak.
Pada Tahun 1839, James Brooke dari Inggris datang ke Serawak dan
menjadi raja di sana serta menyerang Brunei, sehingga Brunei kehilangan
kekuasaannya atas Serawak. Sebagai balasan, ia dilantik menjadi gubernur dan
kemudian "Rajah"
Sarawak
di Barat Laut Borneo sebelum meluaskan kawasan di bawah pemerintahannya. Pada
tanggal 19 Desember1846, pulau Labuan
dan sekitarnya diserahkan kepada James Brooke. Sedikit demi sedikit wilayah
Brunei jatuh ke tangan Inggris melalui perusahaan-perusahaan dagang dan
pemerintahnya sampai wilayah Brunei kelak berdiri sendiri di bawah protektorat
Inggris sampai berdiri sendiri tahun 1984.
1.2. rumusan masalah
Dari
latar belakang di atas, dapat di tarik sebuah rumusan masalah dalam pembahasan
makalah makalah ini diantaranya:
1.2.1 Bagaimana awal mula masuknya bangsa asing ke Malaysia, Singapura, dan Brunei?;
1.2.2 Bagaimana masa imperialisme Inggris di Malaysia, Singapura, dan Brunei?;
1.2.3 Bagaimana Proses tercapainya
kemerdekaan di Malaysia, Singapura, dan Brunei hingga Modernisasi ?;
1.2.4 Bagaimana Kondisi Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Malaysia, Singapura, Brunei?.
1.3.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam makalah
ini, antara lain adalah:
1.3.1 Untuk mengetahui awal mulanya masuknya bangsa asing ke Malaysia, Singapura, dan Brunei;
1.3.2 Untuk mengetahui masa imperialisme Inggris di Malaysia, Singapura, dan Brunei;
1.3.3 Untuk mengetahui proses tercapainya kemerdekaan di Malaysia, Singapura, dan Brunei sampai Modernisasi;
1.3.4 Untuk mengetahui Kondisi Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Malaysia, Singapura, Brunei.
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1 Awal mula masuknya imperialisme di Malaysia
Pertarungan segitiga antara Johor, Aceh dan Malaka, Portugis untuk menguasai Selat Malaka terus bertahan sampai abad ke-17. Karena Portugis tidak memiliki surnber daya atau pun keinginan untuk mendominasi kedua Sisi Selat Malaka, Aceh-yang semakin berani setelah datangnya kekayaan baru dari para saudagar muslim yang memanfaatkan pelabuhan-pelabuhannya setelah jatuhnya, Malaka muncul sebagai pesaing kuat Johor dalam meraih hegemoni di negeri Melayu.
Pada 1564 Aceh merebut kernbali Aru (yang sebelumnya jatuh ke tangan Johor pada 1540) dan menghancurkan ibukota Johor, di Johor Lama. Seluruh keluarga kerajaan dilarikan ke Aceh kecuali putra Sultan yang memerintah Johor sebagai negara vasal. Pada 1570 tim Aceh kernbali mernporakporandakan Johor Lama setelahJohor berupaya melepaskan diri. Aceh juga meluncurkan serangan balasan terhadap Johor pada 1613 dan 1623.Ambisi besar Aceh berujung bentrokan dengan Portugis di Malaka selama abad ke-16 dan ke-17 yang akhirnya mendorong Portugis dan Johor bersatu, sama seperti pada 1582 ketika Portugis membantu Johor menghadapi serangan Aceh. Federasi ini bubar pada 1587 sewaktu Johor menyerang Portugis. Penyerbuan Aceh ke malaka berbuntut insiden pengepungan pada 1627 yang bertahan selama dua tahun sebelum sebuah armada dari Goa menggempur pasukan Aceh. Peristiwa ini menandai penurunan Aceh .Kekuatan Portugis juga mulai mengendur pada dekade-dekade awal abad ke-17. Pada 1640 Malaka Portugis kembali diblokade-kali ini oleh VOC, Belanda. Tim VOC merebut Malaka pada Januari 1641 dengan bantuan sekutu barunya, Johor. (Ricklefs, 2013: 231-232)
Didukung kekuatan aliansinya dengan VOC dan perjanjian damai dengan Aceh yang dimediasi Belanda pada 1641, Johor berupaya mendapatkan kembali posisinya di masa lalu. VOC memprioritaskan penguatan basis kekuatannya di Jawa dan Maluku; tidak berambisi atas wilayah yang kuat di Sumatera atau Semenanjung Melayu kecuali Malaka. . Johor berhasil menguasai kerajaan Sumatera bagian timur, yaitu Siak (1662) dan Indragiri (1669) serta membuat Pahang kembali ke pangkuannya namun gagal menguasai negara-negara Melayu utara.
Kebangkitan
kembali Johor terhenti sejenak setelah negara Sumatera timur yang baru muncul,
Jambi, menjarah dan meluluhlantakkan Johor Lama pada 1673. Peristiwa ini
memaksa dipindahkannya ibukota ke Riau. Perang Johor-Jambi ini berakhir pada
1679 dengan kernenangan di pihak Johor. Johor pun kembali memposisikan diri
sebagai kekuatan tertinggi di Selat Malaka. Sayang sekali, tak butuh waktu lama
bagi Johor terlempar dari posisinya akibat intrik dalam.
Sementara itu, pemerintah-pemerintah lain seperti Negeri Sembilan memproklamirkan kemerdekaannya tatkala kekuasaan imperium Riau-Johor melemah. Keberadaan VOC menjadi jalan buntu bagi kebangkitan Melayu modern yang mengikuti model Malaka lama meskipun pada dasarnya VOC tetap berusaha bersikap netral dalam menanggapi konflik lokal. VOC hanya melakukan sedikit intervensi pada 1756-1757 'untuk membendung ancaman Bugis terhadapperdagangan maritimnya dan pada 1759-1761 menghancurkan pemberontakan orang-orang Melayu di Siak.
Pada
akhir abad ke-18 persaingan dengan Inggris yang kembali terjadi ditambah
kekhawatiran atas persekutuan Melayu dengan EEIC memaksa Belanda untuk
menerapkan tindakan restriktif yang berakhirdengan direbutnya Riau pada 1784
dan diusirnya orang Bugis dari Riau dan Selangor. Harapan akan kebangkitan
kembali ekonomi dan politk Melayu seketika hancur akibat keputusan EEIC
mendirikan pelabuhan di Penang (1786) dan Singapura (1819) serta disepakatinya
Perjanjian Britania-Belanda di London (Traktat London) pada 1824. Perjanjian
ini membagi Imperium Riau-Johor menjadi 'wilayah kekuasaan' Inggris dan
Belanda. Inggris mendapatkan Singapura dan SemenanjungMalaya termasuk Malaka, sementara
Belanda mendominasi Sisi lain Selat Malaka khususnya Sumatera. Konsolidasi lanjutan
terhadap posisi Inggris mengikuti format Straits Settlements (Negeri-negeri
Selat), yaitu Penang, Malaka dan Singapura. ( Ricklef, 2013: 234)
2.2
Awal Imperialisme di Singapura
Pada 28 januari 1819 Rafles menyewa singapura pada sultan Johor. Tapi menimbulkan ketegangan dengan Belanda maka diselesaikanlah dengan Traktat London (1824), semenjak itu Singapura resmi menjadi wilayah kekuasaan Inggris. Tahun 1826 pulau Pinang, Malaka dan Singapura disatukan Inggris dalam satu wilayah kekuasaannya yang disebut Straits Settlements (Wilayah pemukiman selat Malaka) yang berbasis di pulau Pinang, kemudian dipindahkan ke Singapura tahun 1832.
Wilayah kekuasaan Inggris ini
menjalankan pemerintah secara langsung dan daerah ini merupakan basis Inggris
untuk meluakan daerah kekuasaannya ke pedalaman. Tak jauh beda dengan Malaysia,
Singapura menjadi jajahan Inggris setelah perjanjian yang dilaksanakan dengan
Belanda. Pada masa 1824 sampai 1867 ini Singapura tumbuh dengan mengagumkan cepatnya, Penang berkembang dengan lamban dan Malaka terhenti, pada masaini kompeni sama sekali
tidak mempunyai niatan untuk menambah daerah kekuasaan mereka. Tapi saat itu
keadaan negara-negara melayu sedang kronis dan mereka tidak mampu membuat negerinya
tentram oleh karena itu campur tangan kompeni tidak bisa dihindari.
Singapura dalam waktu singkat membenamkan pamor dua Negeri lainnya dan
menjadi entrepot terkemuka di kawasan ini. Pelabuhan Malaka didera pendangkalan
sementara lokasi Penang di ujung utara Malaka membuatnya terlalu jauh dari rute
perairan utama yang melayani jaringan perdagangan regional serta rute
perdagangan Jarakjauh ke Cina. Dengan pelabuhan yang dalam—sehingga tempat
berlabuhnya terlindung—disertai lokasi geografis yang ideal di ujung paling
selatan daratan Asia, Singapura tidak hanya mendominasi akses Ke Selat Malaka
dan Selat Sunda tetapi juga jalur menuju Laut Cina Selatan, Samudera Pasifik
dan Samudera Hindia. Singapura adalah titik pertemuan kapal-kapal antarsamudera
dan kapal-kapal regional yang berlayar antara India dengan Cina melalui Selat
Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makassar. (Ricklef, 2013:321)
2.3 Awal imperialisme di Brunei Darussalam
Pertengahan abad ke 19 menjadi peringatan 2 abad kemunduran kesultanan Brunei sejak zaman keemasannya pada paruh pertama abad ke 16. Ketika itu, desentralisasi perdangangan Malaka sukses jatuh ke tangan Portugis pada 1519 berkontribusi langsung pada pertumbuhan Brunei sebagai entreport perdagangan, lokasi strategis terletak pada rute perdagangan maritim antara Cina dengan kepulauan bagian barat.
Saat kejayannya Brunei mengklaim kedaulatan atas Borneo (Kalimantan bagian utara dan barat). Pengaruhnya tersebar sampai kepulauan Sulu dan wilayah-wilayah lain di Filiphina. Sayangnya, ketika Spanyol mulai menguasai Filiphina sejak akhir abad ke 16, pengaruh Brunei pun ikut menyusut. Selama dua abad kemudian Kesultanan didera konflik sipil dan perebutan singgasana kerajaan, sementara aktifitas perdagangan Belanda dan Inggris kian melemahkan basis kekuatan ekonomi dan politik Brunei. Sarawak diserahkan pada petualang Inggris James Brooke yang menjadi "raja putih" pertama disana pada 1842. Gelar ini merupakan imbalan atas bantuannya memadamkam pemberontakan local. Sejak 1881 Borneo utara dikelola British Nort Borneo Chartered Company. Sepanjang 1853-1888 Serawak dan Borneo utara memperluas wilayahnya secara bertahap yang memperkecil wilayah Brunei. Pada 1888 di proklamasikan sebuah proktektorat Inggris yang mecakup ketiganya. (Ricklef, 2013: 234-235)
2.4 Masa Imperialisme Inggris
di Malaysia
Dari sejak didapatkanya pulau penang sampai kesepakatan Inggris dengan Belanda karena takut akan serangan ancaman dari luar maka sultan Abdullah menawarkan pulau Penang kepada Inggris agar pihak Inggris mau membantu mereka jika Kedah diserang musuh.Lalu pihak Inggris mengirimkan Francis Light untuk berkonsultasi dengan Kedah, maka setelah konsultasi disepakatilah perjanjian antara Inggris dan Kedah perjanjian itu disebut perjanjian Inggris Kedah perjanjian tersebut berisisi:
1.
EIC siap membantu Kedah jika Kedah diserang musuh.
2.
EIC tidak dapat melindungi musuh Kedah.
3.
EIC akan membayar 30000 dolar Spanyol setahun bagi sultan sebagai kompensasi. (Ganti rugi perang)
4.
Kedah mengizinkan EIC menduduki Pulau Penang
Pada 11 agustus pulau penang secara resmi diambil
Inggris dan dinamakan pulau pangeran
wales, Pada tahun
1786, Siam telah menakluki Patani dan mengancam Kedah.
Karena takut seranagan kerajaan Siam, Sultan Abdullah (Kedah) menuntut bantuan
dari EIC seperti yang terdapat dalam Perjanjian Inggeris-Kedah 1786.Tapi EIC enggan membantu Kedah
karena menjaga kepentingan dagang dengan siam, karena dianggap tidak menepati
janji maka sultan mendesak Francis Light untuk meninggalkan Penang , namun ia
enggan meninggalkan Penang dan
menawarkan ganti rugi tetapi ditolak oleh sultan.
Pada 1791 sultan menyiapkan angkatan lautnya untuk mengambil
pulau Penang namun Francis Light meminta
bantuan Inggris untuk menyerang armada
sultan itu, pada serangan itu Kedah dapat dikalahkan dan terpaksa
menandatangani perjanjian persahabatan dan keamanan Inggris -Kedah pada 1 mei
1791. EIC menduduki pulau Penang secara
resmi, sebagai imbalan EIC akan membayar sebanyak 6000 dolar Spanyol per tahun
kepada sultan. Dibawah Francis Light Penang
yang baru diduduki itu berkembang dengan cepat, para imigran mengalir,
sistem perdagangan bebas diberlakukan dan menjadikan Penang menjadi pusat
distribusi yang berharga.
Penang merupakan
tempat perdagangan yang ramai, pada tahun 1789 jumlah nilai expor dan impornya
mencapai 853,592 dollar Spanyol dan lima tahun kemudian menembus hampir dua
kali lipat angka , pada saat pemerintahanya Light mengusahakan penanaman
rempah-rempah, penanaman cengkeh, pala dan kayu manis namun gagal. Tetapi dengan
semangatnya dan bantuan keuangan dari orang China penanaman merica di Penang
sukses besar. Pada waktu itu Penang
tidak mampu menghasilkan bahan pangan bagi penduduknnya yang semakin
banyak, tahun 1807 hukum sipil dan
kriminal Inggris diperkenalkan di Penang dan prosedur pengadilanya harus disesuaikan
dengan keagamaan pribumi dan sesuai dengan jiwa hukum Inggris .
Pada awal abad ke 19 Inggris telah mengukir pijakan di semenanjung Malaya koloni mereka di Penang, Malaka dan Singapura, hal ini dikarenakan dengan adanya Perjanjian Inggris dan Belanda tahun 1824. Perjanjian ini ditandatangani di London, yang secara garis besar berisi: Belanda tidak akan mengganggudan mengatur Malaya sebagai wilayah pengaruh Inggris, menarik semua keberatannya atas pendudukan Singapura, menyerahkan Malaka dan berjanji tidak akan melakukan pendudukan apapun di semenanjung Melayu atau menandatangani perejanjian apapun dengan raja-raja setempat. Inggris menyerahkan pada Belanda, Bengkulu dan semua milik kompeni India Timur di Sumatera. Dan tidak akan melakukan perjanjian apapun serta membuat kesepakatan apapun dengan raja-raja setempat. (DGE Hall,: 486)
Ancaman
yang terus ada sejak ekspansi Siam pada
abad ke-17. di Malaya utara dan pusat
diredam oleh Perjanjian Inggris-Siam 1826. dalam perjanjian ini, Inggris
mengakui kedaulatan Siam atas Kedah (dan sejak 1841, Perlis), Kelantan dan
Terengganu sebaliknya Siam secara tersirat rnengakui pengaruhInggris terhadap
negara-negara Melayu Iain nya. ( Ricklef, 2013: 277).
Inggris
cukup puas dengan mempertahankan ketiga Negeri Selat di pinggiran semenanjung
yang berfungsi sebagai entrepot produk-produk import dan regional (termasuk
berbagai barang yang berasal dari negara-negara Malaya ) sekaligus sebagai
pintu masuk para pedagang asing, imigran Cina (dan kelak pekerja India yang
mempercepat pembangunan ekonomi semenanjung secara umum Inggris menghindari
intervansi colonial. Sejak pertengahan abad hubungan antara ketiga Negeri Selat
dengan negara-negara Melayu mulai berubah secara signifikan. Ketika
kekuatan-kekuatan ekonomi baru mendekatkan kedua belah pihak, kekuatan-kekuatan
tersebutjuga menimbulkan ketegangan nyang tidak dapat ditolak. Pada 1840-an,
seiring meningkatnya permintaan timah dari negara-negara industri Barat, para
pedagang Cina Selat—seringkali bekerjasama dengan para kepala negara Malaya
yang berseteru—mulai melakukan investasi pertambangan timah di negara-negara
Malaya Barat. Upaya menggagalkan koalisi Malaya-Cina guna mengambil alih
wilayah dan pendapatan segera menimbulkan gangguan keamanan sipil di Kiang
(Selangor), Larut (Perak) dan Sungai Ujung (Negeri Sembilan).Situasi ini mebuat
Inggris mengubah kebijakan intervensi mereka.
Didukung
para pedagang Selat, Gubernur Inggris baru Sir Andrew Clarke langsung mengambil
tindakan di saat kedatangannya pada November 1873. Antara Januari—April 1874 ia
membatalkan kebijakan non-intervensi yang telah lama ada dan menjadikan Perak,
Selangor dan Sungai Ujung berada di bawah kekuasaan Inggris dengan memaksa
setiap penguasanya menandatangani perjanjian dengan Inggris. Kendati Inggris
memadamkan pernberontakan pada Mei 1876 dan berhasil memadamkan beberapa
pemberontakan kecil di Sungai Ujung serta upaya pemberontakan di Selangor,
perlawanan-perlawanan ini menjadi alasan untuk menghentikan 'gerak maju'
Inggris. Gerak maju ini baru dilanjutkan kembali pada 1880-an dengan
diperluasnya sistem residen ke Negeri Sembilan (1887) dan Pahang (1888). Di
sana, Inggris kembali menghadapi perlawanan sporadis Melayu sepanjang periode
1891-1895 )(Ricklef, 2013:278).
Pada Juli 1896 konsolidasi kekuasaan Inggris di Semenanjung Malaya tercapai dengan bersatunya Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang di bawah Federated Malay States (FMS, Negeri-negeri Melayu Bersekutu), Kenyataannya, hanya Negara-negara selat yang resmi rnenjadi koloni Inggris. FMS dan Unfederated Malay States (UMS, Negeri- Negeri Melayu Tidak Bersekutu) secara hukum tetap berstatus Kerajaan Melayu berdaulat dan merdeka berdasarkan perjanjian-perjanjian mereka dengan Inggris. (Ricklef, 2013: 278-279)
Imigran
Cina menjadi tulang perekonomian kolonial di Malaya, orang Cina rnenjadi pemain
kunci dalam perputaran uang di Negeri-negeri Selat (mereka berperan sebagai
pekerja, pedagang, pengusaha dan profesional) dan juga negara-negara Melayu (di
sini, mayoritas dari mereka terjun dalam industri timah). Itu sebabnya,
gelombang migrasi Cina dibiarkan begitu saja mernbanjiri Malaya hingga awal
abad ke-20. Pada 1891 lebih dari separuh total populasi Selangor adalah orang
Cina, namun Inggris akhirnya menyadari orang Cina—tidak seperti orang Melayu
menyusahkan dan sulit diatur kecuali oleh kalangan mereka sendiri. Jika orang
Cina bermigrasi melalui jaringan komunal mereka sendiri, migrasi masyarakat
India dibantu Inggris demi mencapai kemajuan pertanian komersial.
Memerintah komunitas Cina yang besar menjadi
tantangan tersendiri bagi Inggris. hampir sepanjang abad ke-19 para pemimpin
Cina yang diakui di Malaya adalah kepala perkurnpulan rahasia. Karena besarnya
sumber daya manusia dan finansial yang mereka miliki, para kepala perkumpulan
rahasia yang lebih kuat kadang kala memiliki profesi yang lebih terhormat.
Kebanyakan dari mereka kernudian berperan sebagai pemimpin komunitas filantropi
dan pedagang kaya.
Kualitas politik dan pengaruh membuat mereka
menjadi rekan bisnis dan sekutu politik yang paling banyak dicari oleh para
ketua adat Melayu, yang mengangkat mereka sebagai anggota Dewan Negara dan
menugaskannya mengelola populasi Cina lokal di negara bagiannya. Pengaruh
perkumpulan rahasia terhadap populasi Cina begitu kuat. 'Pihak berwenang
Inggris seringkali merasa perlu mentoleransi eksistensinya. Inggris bahkan
tidak segan meminta bantuan para pemimpin perkumpulan ini untuk memulihkan ketertiban
pasca terjadinya kerusuhan yang melibatkan geng-geng Cina yang saling
Menghadapi tantangan untuk memerintah komunitas Cina yang relatif heterogen,
tidaklah mudah. Namun perebutan kekuasaan yang
membabibuta dan kerusuhan di antara kelompok masyarakat rahasia Cina yang
berseteru banyak terjadi. Perkurnpulan-perkumpulan rahasia yang terus
berkembang selama abad ke-19—menciptakan kondisi anarkis yang seringkali
mengancam stabilitas kekuasaan Inggris di Malaya. Pada 1890 Inggris membekukan
seluruh masyarakat rahasia di Malaya. ( Ricklef, 2013: 282-283)
Negeri-negeri Selat dan Malaya Inggris
Di Malaya, upaya Inggris melakukan sentralisasi
pernerintahan pada akhir abad ke-19 awalnya berupaya mernperkuat hubungan
antara dua 'blok' wilayah mereka yang sudah ada—Negeri-negeri Selat dan FMS,
Namun, sejak pembentukan Federasi, Kantor Urusan Koloni mencatat adanya
tanda-tanda mengkhawatirkan bahwa FMS dan Koloni bergerak menjauh dan
'berpotensi berjalan sendiri-sendiri- Negeri- negeri Selat dan FMS sama-sama
menjadi pemangku kepentingan dalam ekonomi berorientasi ekspor, Tak heran,
keduanya terbilang makmur dan berkembang menjadi pusat ekonomi yang saling
bersaing.
Residen Jenderal di Kuala Lumpur membayangkan
dirinya mengepalai unit pemerintahan FMS terpisah yang hanya memiliki hubungan
terbatas dengan Singapura, sementara Gubernur Komisioner Tinggi di Singapura
merasa bahwa ia bertanggung jawab untuk melaksanakan kewenangannya terhadap
seluruh Malaya, bukan hanya Negeri-negeri Selat melainkan juga FMS dan
negara-negara Melayu lainnya.
Ketika bapak federasi dan orang tua di Malaya Sir Frank Swettenham menjadi Residen Jenderal sejak 1896-1900, Kuala Lumpur mampu menjaga FMS sejauh mungkin dari kontrol Singapura. Situasinya berbalik ketika Sir John Anderson menjabat Gubernur Komisioner Tinggi sejak 1904-1911. Anderson berrnaksud menghilangkan gagasan bahwa Residen Jenderal adalah 'kepala pemerintahan terpisah yang semi-independen' dengan menegaskan kewenangan Singapura terhadap FMS. la juga menghilangkan keraguan bahwa Residen Jenderal hanyalah penasihat utama dan juru bicara Komisioner Tinggi di FMS. Sebagai Ketua Dewan Federal yang dibentuknya pada 1909 Anderson melenyapkan segala pretensi yang menunjukkan bahwa Residen Jenderal adalah kepala pemerintahan FMS terpisah. Pada 1910, atas usulannya, jabatan Residen Jenderal diubah menjadi Sekretaris Kepala untuk menunjukkan posisinya di bawah Komisioner Tinggi-sama seperti Sekretaris Koloni yang menduduki jabatan di bawah Gubernur di Negeri-negeri Selat. (Ricklef, 2013: 432-433)
Konsepsi
federasi Pan-Malaya yang terdiri dari semua Negara Melayu-diperluas untuk
menyertakan lima Negara yang tercangkup dalam Unfederated Malay States (UMS,
negeri-negeri Melayu tidak bersukutu) yaitu Kedah, Kelantan, Perlis, Trengganu
dan Johor.UMS yang lebih otonom menolak untuk bergabung dengan FMS. Inisiatif
Inggris pada 1920 dan 1930-an berubah menjadi “desentralisasi” yaitu ingin
meloggarkan ikatan dalam FMS, dengan mengembalikan pemerintahanke tangan orang
Melayu, sebagai bujukan bagi UMS.
Skema ini awalnya dilaksanakan oleh Sir George
Maxwell yang menjabat sebagai Seketaris Kepala FMS(1920-1926), Maxwell
menyarankan kekuasaan diserahkan dari kepala departemen federal kepada para
Residen, tetapi hal itu menguap setelah seketari Kepala terlibat pertarungan
sengit dengan Gubernur Komisioner Tinggi, mereka memperdebatkan siapa yang
harus mengrahkan kebijakan desentralisasi di Negara-negara Melayu.
Pada 1925 Guillemard mengajukan rencana
desentralisasinya sendiri. Inti rencananya adalah menghapuskan jabatan
seketaris kepala dan menyerahkan kekuasaan yang sangat besara terhadap para
residen dan dewan Negara. Hal ini juga gagal karena tidak mendapat dukungan.
Dihapuskannya Sekretaris kepala aka mengalihkan kekuasaan eksekutif de facto di
FMS kepada komisioner tinggi di Singapura. Akhirnya Gilmerd mengundurkan diri
pada tahun 1927. Clementi yang menjadi Gubernur-Komusioner Tinggi (1930-1934)
juga berambisius menyatukan kesembilan Negara Melayu dan koloni negeri-negeri
selat. Clementi membangkitkan kembali kebijakan desentralisasi. Ia berniat membubarkan
FMS agar dapat menempatkannya setara dengan UMS. Ia menghidupkan kembali seruan
Guillemard, ia juga berupaya menciptakan uni revolusioner yang akan menyatukan
wilayah-wilayah Inggris di Malaya dan Borneo. Hal ini mendapat perlawanan dari
UMS dan FMS yang mengkhawatirkan rencana Clementi akan menghilangkan otonom dan
status kedaulatannya. Mereka juga melihat dimasukkannya negeri-negeri Selat dan
sentralisasi di Singapura sebagai kemajuan yang akan membuat kepentingan FMS
dibawah kepentingan koloni juga menhilnagkan status pelabuhan bebas dan ekonomi
dari entrepot koloni. Cita-cita Clementi juga menemui kegagalan.
Pandangan Orang Malaysia terhadap Bangsa Inggris
Bisa
dikatakan belum ada kesadaran nasionalisme Malaya bersatu karena orang Melayu
tetap bisa hidup tenteram hal ini disebabkan sistem politik Inggris yang tidak
terlalu membatasi orang-orang Melayu. Namun tidak seluruhnya persepektif local
tidak reaktif terhadap perkembangan politik yang ada. Gerakan nasional dan
Internasional India serta nasionalisme Indonesia, Pan Islamisme dan Komunisme
secara aktif mengklaim telah mendapatkan dukungan dan kesetiaan dari berbagai komunitas
di Malaya.
Selama
dekade-dekade awal abad ke-20, kesadaran politik Melayu dibangunkan oleh
gerakan modernis Islam di Timur Tengah yang dibawa oleh pelajar Melayu yang
menuntut ilmu di Mekkah atau Al Azhar. Mereka mengajak orang Melayu untuk mempelajari
pendidikan Barat agar mengetahui perkembangan yang ada disekitar mereka. Hal
ini memicu konflik doktrin antara kaum tua tradisionalis dan kaum muda modernis
yang kemudian memunculakan pemahaman baru didalam diri mereka tentang posisi
mereka dalam situasi Malaya. Pada pertenhgahan 1920an Modernisasi Islam di
Malaya lebih bersifat politik daripada agama. Gerakan ini gagal mendapatkan
dukungan karena hanya dipusatkan di perkotaan.
Nasionalisme
di melayu baru muncul pada masa antar kedua perang dunia, juga dipengaruhi oleh
kecenderungan sayap kiri Nasionalisme Indonesia dan komunisme. Seperti Partai
Nasionalisme Indonesia(PNI, Sukarno) serta melalui kontak pribadi dengan tokoh
komunis Tan Malaka dan Alimin yang melarikan diri ke Malaya setelah gagalnya
partai komunis melawan Belanda pada tahun 1926-1927. Terkobar cita-cita
mendirikan Malaysia Raya ( melibatkan penyatuan Indonesia dan Malaya) para
radikal ini termasuk Ibrahim Yacoob, Ishak Haji Muhammad Ahmad Boestaman dan
Dr. Burhanuddin Al-Helim membentuk Kesatuan MalayaMuda (KMM) pada 1938 yang
anti Inggris namun organisasi ini ditindas pada Oktober 1941, terlebih lagi
kurangnya dukungan massa karena mayoritas orang Melayu yang lebih menyukai
sistim kepemimpinan yang akrab dan tidak bersifat demonstratif.
2.5
Masa Imperialisme di Singapura
Perluasan pengaruh Inggris di daerah selat Malaka dan di daratan Semenanjung Melayu, diluncurkan dari daerah Straits Settlement, yaitu daerah daulat Inggris yang meliputi Penang, Dinding, Malaka dan Singapura. Yaitu kesatuan yang memiliki pemerintahan sendiri yang semula berpusat di Penang yaitu Inggris yang tertua, tetapi pindah di Singapura tahun 1932 sempai memperoleh kemerdekaannya. Yang mendapat straits settlement adalah English East India Company (berbasis di India dan bukan pemerintahan Inggris karena itu yang berdaulat adalah straits settlement.
Tahun
1858, Inggris East Company dibubarkan karena dianggap tidak layak jika suatu
badan swasta semacam EIC itu memeritah suatu kerajaan besar seperti India. Alibat
dibubarkannya EIC, Singapura dan daerah lain di selat Malaka yang bergabung
dalam Straits menjadi jajahan Inggris. Pada 1867 dijadikan Crowncollony, yaitu
jajahan yang diurus oleh mahkota oleh raja dan bukan oleh pemerintah kerajaan.
Straits Settlement adalah British Teritory semua orang dari mana saja yang
dilahirkan dalam Straits Settlements diannggap sebagai Warga Negara Inggris
yang wajib dilindungi Inggris. Perluasan Inggris atas raja-raja Melayu tidak
dengan kekerasan tetapi dengan melakukan perjanjian-perjanjian. Akibat
perjanjian tadi, tiap raja Melayu menerima residen Inggris sebagai penasehat
dalam pemerintahan. Seseungguhnya residen Inggris inilah yang memerintahkan
formilnya raja-raja Melayu tetap berdaulat dan formil Inggris tidak menjajah.
Setelah Semenanjung Melayu dibawah pimpinan Inggris, Singapura tetap sebagai Kota kolektor dan pembagi barang-barang. Ternyata Singapura ternyata merupakan tempat yang cocok untuk memasarkan minyak yang dikeluarkan dari Sumatera, Kalimantan, Belanda dan Serawak. Total hasil perdagangan meningkat 2000 ringgit sebelum Perang Dunia II. Karena perkembangannya yang menawan, maka London Imperial Conference di tahun 1921 memutuskan untuk menjadika Singapura yang tinggi mutunya. Dan dalam 1938 sudah selesai dibangun, dengan menelan biaya sebesar 20 juta pounsterling.
2.6 Masa Imperialisme di Brunei
Pada 1839, petualang Inggris James
Brooke sampai ke Kalimantan dan menolong Sultan Brunei menumpas sebuah
pemberontakan. Pemberontakanyang cukup
terkenalini terjadi pada masa Sultan
Omar Ali Saifuddin II. Sebagai imbalannya, ia
menjadi gubernur dan kemudian "Rajah Putih" dari Sarawak di
Kalimantan barat laut dan kemudian mengembangkan daerah kekuasaan di bawah
pemerintahannya.Namun ternyataBrooke memiliki maksud
tersembunyi, sejak menjabat sebagai gubenur, wilayahnya semakin diperluas
secara bertahap. Bahkan ia pernah meminta pemerintah Inggris untuk
meneliti seberapa besar potensi Brooke untuk dapatmenguasai Brunei, akan tetapi
hasilnya mengecewakan. Rekomendasi dari pemerintah Inggris menunjukkan
bahwa meskipun Brunei memiliki pemerintahyang sangat buruk, namun rakyatnya
memiliki loyalitas dan identitas nasionalyang sangat tinggi sehingga peluang
Brooke untuk menguasai Brunei kecil.Maksud tersembunyi ini akhirnya tercium
juga oleh Sultan. Pada tahun1843 terjadi konflik terbuka antara Brooke dan
Sultan yang berakhir dengankekalahan di pihak Brunei. Sultan akhirnya terpaksa
mengakui kemerdekaanSerawak.
Lepasnya
Serawak membuat gerakan Inggris menjadi semakin mudahkarena memiliki kawasan
yang lebih strategis.Pada tahun 1846, Brunei Town diserang oleh pasukan
Inggris. IbukotaBrunei tersebut ditaklukan dengan mudah oleh pasukan Inggris.
Sultan SaifuddinII pun ditangkap dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian untuk
mengakhiri pendudukan Inggris atas kota Brunei. Pada tahun yang sama,
Sultan Saifuddin IIkembali dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Labuan yang
berisi penyerahanLabuan kepada Inggris. Pada tahun 1847, Brunei menandatangani
PerjanjianPerdagangan dan Persahabatan dengan Inggris. Pada tahun 1850, Brunei
menandatangani perjanjian serupa dengan Amerika Serikat.Wilayah kekuasaan
Brunei pun semakin mengecil, sedikit demi sedikitSultan dipaksa untuk
menyerahkan wilayahnya kepada Serawak.
Sultan Omar Ali safiuddin II mangkat pada tanggal 18 November 1852 dan digantikan oleh Pengiran Anak Abdul Momin ibnu Pengiran Shahbandar Pengiran Anak Abdul Wahab ibnu Sultan Omar Ali safiuddin I dan bergelar Sultan Abdul Momin. Sultan Abdul Momin memiliki keputusan bahwa ketika beliau nantinya turun tahta, maka Kesultanan Brunei tidak akan dipimpin oleh keturunannya melainkan kepada putera Sultan Omar Ali safiuddin II, yaitu Pengiran Anak Muhammad Salleh atau Pengiran Anak Hashim.
Pada tahun1877, Inggris juga memaksa Brunei untuk menandatangani perjanjian penyewaanlahan yang ada disebelah timur (kini bernama Sabah) kepada Perusahaan Borneo Utara milik Britania Raya. Wilayah Brunei yang awalnya begitu luas pun berubahmenjadi kecil mungil akibat dikikis oleh Inggris.Kekuasaan Brunei yang sangat terbatas membuatnya menjadi sangatlemah, akibatnya Brunei menjadi negara yang lemah dan tak berdaya
Ketika Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin memerintah, pada tahun 1888 M diadakan perjanjian dengan Sir Hugh Low di pihak Pemerintah Inggris. Isi perjanjian adalah pernyataan bahwa Kesultanan Brunei berada dalam perlindungan Inggris, namun Pemerintah Inggris tidak berhak turut campur dalam urusan pergantian Sultan Brunei. Sementara itu, British North Borneo Company memperluas kekuasaannya di daerah Kalimantan timur laut. Pada 1888, Brunei menjadi negara lindungan pemerintah Britania Raya, dan meskipun tetap memegang otonomi namun di bawah kekuasaan Britania dalam hubungan luar negeri.
Pada
tanggal 3 Desember 1905 dan 2 Januari 1906, Sultan Hashim Jalilul Alam
Aqamaddin kembali menandatangani perjanjian dengan Inggris yang diwakili John
Anderson. Perjanjian tersebut berisi bahwa Kesultanan Brunei menerima
pengangkatan seorang Residen di wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei. Residen
ini merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan Inggris, sehingga Kesultanan
Brunei wajib menjamin keselamatan, menyediakan tempat tinggal yang layak, dan
menjalankan segala masukan dari Residen tersebut, kecuali yang berhubungan
dengan agama Islam. .Warga Inggris mulai dikirimkan
untuk membangun Brunei. Sebuah kantor bea cukai dan pertanahan mulai dibangun,
kepolisian Brunei juga mulai dibangun. Pada tahun 1911, Inggris juga
mendirikan sekolah melayu.
Pada bulan Mei 1906, Pengiran Muda Bongsu Muhammad Jamalul Alam naik tahta menggantikan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin dan bergelar Sultan Muhammad Jamalul Alam II. Namun berhubung Sultan Muhammad Jamalul Alam II belum dewasa, maka jabatan Sultan dipangku oleh Pengiran Bendahara Pengiran Anak Muhammad ibnu Pengiran Anak Muhammad Tajuddin dan Pengiran Pemancha Pengiran Anak Anonim II ibnu Pengiran Maharaja Lela Pengiran Anak Abdul Kahar sampai tanggal 15 Mei 1918. Setelah Sultan Muhammad Jamalul Alam II telah dewasa, maka ia diangkat menjadi Sultan Brunei.
Sultan Muhammad Jamalul Alam II mangkat pada tanggal 19 September 1924. Tahta Kesultanan Brunei beralih kepada Pengiran Muda Besar Ahmad Tajuddin bergelar Sultan Ahmad Tajuddin Akhazul Khairi Waddin. Pada tanggal tanggal 4 Juni 1950 Sultan Ahmad Tajuddin Akhazul Khairi Waddin mangkat sehingga tahta Kesultanan Brunei diserahkan kepada Pengiran Muda Tengah Omar 'Ali Saifuddien
Pengiran Muda Tengah Omar 'Ali Saifuddien naik tahta dan bergelar Sultan Omar' Ali Safiuddien Sa'adul Khairi Waddien atau Sultan Omar Ali Saifuddien III. Pada masa pemerintahan Sultan Omar Ali Saifuddien III diadakan perundingan dengan Inggris yang berisi disebut Perjanjian Konstitusi Bertulis Negeri Brunei.
Kemakmuran Brunei mulai kembali terlihat sejak ditemukannya minyak
di Seria pada tahun 1929.Pembangunan di Brunei sempat terhenti saat terjadi
Perang Dunia Kedua. Brunei diduduki oleh Jepang pada tahun 1941-1945. Inggris
tidak mampu mempertahankan Brunei dari serangan Jepang meskipun sebenarnya Inggris
masih memiliki perjanjian protektorat dengan Brunei.
2.7 Proses kemerdekaan di Malaysia
Nasionalisme orang-orang Cina Melayu didominasi oleh isu-isu dari luar, kehidupan politik orang Cina di Malaya secara bertahap mulai terbentuk setelah revolusi Cina. Cabang-cabang Goumindang (nasionalis, sun yat sen) banyak didirikan di Malaya. Saat Goumindang menyatukan front dengan Chinese Communist Party (CCP, partai komunis China) unsur-unsur Komunis juga masuk kedalam cabang-cabang Malaya. Komunis di Malaya kemudian membentuk partai NCP (Nanyang comunist party) yang diubah menjadi (malayan comunist party) pada 1930. MCP bertujuan untuk mengkomuniskan Malaya, MCP memperluas kegiatan anti Inggris menggunakan panggilan patriotisme Cina hal ini karena diskriminasi dari Inggris yang lebih menyukai keberadaan orang Melayu dalam departemen-departemen pemerintahan dan dalam pendidikan.
pada tahun 1946 berdirilah organisasi yang bercita-cita untuk kemerdekaan semenanjung melayu (jazirah malaya). Nama organisasi tersebut adalah UMNO (united Mlay National Organization) yang kemudian berkembang sebagai partai yang terkuat dari kalangan orang-orang melayu. Sesudah perang dunia II jazirah Malaya berada dibawah pemerintahan militer Inggris straits settlement dibubarkan dan singapura menjadi koloni Inggris.
Setelah
berakhirnya masa tugas pemerintahahn militer inggris struktur wilayah Negara
bagian tanah melayu diatur kembali pada tahun 1949. wilayah semerawak akhirnya
juga menjadi wilayah jajahan Inggris pada tahun 1946, tatkala raja terakhir
menyerahkan wilayah itu kepada mahkota inggris. koloni itu diperintah seorang
gubernur dibantu oleh sebuah dewan agung dan badan Legislatif yang dinamakan
Dewan negeri.
Pada tahun 1948 gerombolan teroris Malaya meluncurkan tindakan kekerasan dan pembunuhan untuk melumpuhkan keadaan darurat perang. Setelah dua belas tahun berjuang, melawan kaum komunis tersebut, akhirnya pemerintah berhasil menguasai keadaan setelah menghancurkan sisa-sisa kaum komunis diwilayah perbatasan dengan Thailand. Kondisi darurat perang diakhiri tahun 1960 setelah Inggris terlebih dahulu memberikan kemerdekaan kepada federasi Persekutuan Tanah Melayu pada tanggal 31 Agustus 1957. Sebagai kepala Negara Federasi Federasi Malaya merdeka pertama adalah Tuanku Sir Abdul Rahman Ibni Almarhum Tuanku Muhammad, dengan sebutan Yang dipetuan Agong persekutuan tanah Melayu .
Kemerdekaan
dicapai pada 31 Agustus
1957 dengan nama Federasi Malaya. Singapura masih berada di bawah kekuasaan Britania
Raya pada saat itu karena letaknya yang stategis. Pada 16 September
1963, Federasi
Malaya bersama-sama dengan koloni mahkota Britania, yaitu Sabah (Borneo Utara),
Sarawak, dan Singapura, membentuk
Malaysia. Kesultanan Brunei, meski mulanya
berminat menggabungi Federasi, menarik kembali rencana penyatuan itu karena
adanya penentangan dari sebagian penduduk, juga dalih tentang pembayaran
royalti minyak dan status Sultan di dalam perencanaan penyatuan.
2.8
Proses Kemerdekaan di Singapura
Dengan merdekanya Malaya dan posisinya yang aman dalam Persemakmuran
Inggris, Singapura dan wilayah teritorial Borneo atau Pulau Kalimantan
(Sarawak. Borneo Utara dan Brunei) merupakan sisa wilayah kekuasaan Inggris di
Asia Tenggara yang masa depan politiknya belum diputuskan. Dipisahkannya
Singapura dari bekas Negeri-negeri Selat dan pendiriannya sebagai koloni
terpisah di bawah Gubernur tersendiri menjadi konsekuensi eksperirnen Inggris
untuk rnenciptakan tatanan pemerintal,an baru pa-scaperang di Malaya.
Disingkirkannya
pulau ini dari Uni Malaya pada 1946 adalah kebutuhan taktis untuk
mengantisipasi terjadinya perlawanan orang Melayu terhadap program yang
terlanjur jadi kontroversi ini. Kepentingan ekonomi Singapura yang fokus pada
perdagangan entrepot sangat berbeda dengan sistem perekonomian daratan utama
Malaya yang lebih berorientasi pada bidang pertanian.
Sudah sejak lama komunitas Melayu semenanjung tidak suka diperintah dari Singapura. Terlepas dari fakta masa lalu ini, dimasukkannya koloni dengan populasi yang rata-rata didominasi etnis Cina malah akan semakin menggulingkan keseimbangan etnis yang rumit dan membuat orang Melayu menjadi minoritas di tanah airnya sendiri.
2.9 Proses kemerdekaan di Brunei
Awal kemerdekaan Brunei Darussalam atas Inggris tidak lepas dari
amandemen perjanjian 1959 antara Brunei dengan Inggris. Dalam pembaharuan
perjanjian tersebut, disebutkan bahwa adanya penghapusan wewenang kerajaan
Inggris atas urusan internal (dalam negeri) Brunei Darussalam, serta mengurangi
peran dari komisaris tinggi, yang kemudian berhenti untuk mempertahankan fungsi
serta peran dari penasihat dalam negeri pemerintahan Brunei Darussalam. Dan
pada akhir tahun 1983 pemerintah kerajaan Inggris memberikan atau menyerahkan
tanggung jawab kebijakan dan pertahanan asing secara penuh kepada Brunei
Darussalam.
Pada
tahun 1959, Brunei mengeluarkan sebuah konstitusi baru yangmenyatakan
pembentukan pemerintahan sendiri, sedangkan urusan luar negeri, pertahanan
dan keamanan tetap menjadi milik Britania Raya yang diwakili olehKomisaris
Tinggi. Sebenarnya Brunei sudah berusaha untuk menggunakan sistem badan
legislatif terpilih yang diwakili oleh partai politik, namun usaha
tersebutgagal akibat pemberontakan yang dilakukan oleh partai oposisi, Partai
Rakyat Brunei pada tahun 1962. Pada akhir
1950 dan awal 1960, kerajaan Brunei ketika itu menolak rencana (walaupun pada
awalnya menunjukkan minat) untuk bergabung dengan Singapura, Sabah, Sarawak, dan Tanah Melayu untuk membentuk Malaysia dan akhirnya Sultan Brunei ketika itu berkehendak untuk membentuk
sebuah negara yang merdeka.
Sementara itu pada tahun 1962, terjadi
pemberontakan di Brunei dan Kalimantan Utara lainnya. Pemberontakan itu
dipimpin oleh Azhari. Ia memperjuangkan kemerdekaan bagi seluruh Kalimantan
Utara, yang meliputi Sabah, Serawak dan Brunei. Perjuangan Azhari ini didukung oleh
Indonesia, pada zaman pemerintahan Soekarno. Pemberontakan yang berlangsung
selama lebih dua tahun itu hampir berhasil, lapangan terbang sudah dikuasai.
Hampir seluruh daerah Brunei dikuasai pemberontak, kecuali daerah sekitar
istana sultan dan daerah minyak yang dijaga ketat oleh pasukan Inggris. Azhari
melarikan diri ke Indonesia, sedang ribuan pengikutnya ditawan. Ratusan di
antara mereka mendapat hukuman lebih dari 15 tahun penjara.
Pada 1967 , Omar Ali Saifuddin III telah turun dari takhta dan melantik putra sulungnya Hassanal Bolkiah , menjadi Sultan Brunei ke-29. Baginda juga berkenan menjadi Menteri Pertahanan setelah Brunei mencapai kemerdekaan penuh dan disandangkan gelar Paduka Seri Begawan Sultan . Pada tahun
1970 , pusat pemerintahan negeri Brunei Town, telah diubah namanya menjadi Bandar Seri Begawan untuk mengenang jasa baginda. Baginda mangkat pada tahun 1986 .
Pada tanggal 4 Januari 1979 , Brunei dan Britania Raya telah menandatangani Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan . Pada 1 Januari 1984 , Brunei Darussalam telah berhasil mencapai kemerdekaan sepenuhnya. Saat ini Brunei memiliki wilayah yang lebih kecil dari masa lalu, dengan berbatasan dengan Serawak dari sebelah barat sampai timur wilayah itu, serta sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
2.10 Kondisi politik, ekonomi, dan sosial di Malaysia
a.Keadaan politik Malaysia
Ekspansi
kekuasaan Inggris yang bertahap berdampak pada terbentuknya tiga sistem
pemerintahan terpisah dalarn perbatasan Malaya Inggris. Di Negeri-negeri Selat
yang diperintah secara langsung sebagaimana koloni Inggris pada umumnya,
Gubernur yang bertempat di Singapura memimpin pemerintahan dengan melibatkan
Dewan Eksekutif (beranggotakan para pejabat senior) dan Dewan Legisiatif
(mayoritas anggotanya diangkat melalui proses pengangkatan). Urusan koloni
dijalankan Sekretariat Koloni; di bawahnya terdapat para Konsul Residen yaitu
kepala pemerintahan lokal Penang dan Malaka.
Koordinasi dengan negara-negara Melayu dilakukan Gubernur yang mengawasi pemerintahan dalam jabatan lainnya sebagai Komisioner Tinggi negara-negara tersebut dimana Inggris berkuasa secara tidak langsung. Dalam FMS, kekuasaan administratif dipusatkan pada Residen Jenderal di Kuala Lumpur dengan yurisdiksi terhadap seluruh Residen. Terpilih karena pengetahuan mereka tentang orang-orang Malaya dan kemarnpuan mengatur mereka, para Residen tidak hanya mengarahkan pemerintahan gaya Eropa di negara mereka masing-masing, tetapi juga menjadi anggota dan mendominasi Dewan Negara, badan legislatif utama dimana para penguasa Malaya dan para anggota elite Malaya serta sejumlah kecil perwakilan Cina bersidang untuk mengesahkan undang-undang.
Para
Pegawai Daerah (District Officer) Inggris di tingkat yang lebih rendah
bekerjasama dengan semua kepala desa dan melaporkan kegiatannya kepada Residen.
Kondisi ini membuat pemerintah tetap terhubung dengan sensitivitas akar rumput
Malaya. Menyusul dibentuknya Dewan Federal pada 1909 yang dikatakan untuk
memastikan perundangan yang lebih seragam, walaupun dewan ini kemudian bertugas
mengeluarkan hampir semua undang-undang di FMS peran Dewan Negara dan posisi
para penguasa Melayu yang mengepalainya semakin berkurang. Setelah Komisioner
Tinggi yang dibantu Residen Jenderal guengepalai Dewan Federal, para penguasa
pada kenyataannya banya meniadi anggota tanpa kekuatan veto.
Situasinya sangat berbeda di komponen ketiga melayu Inggris, yaitu UMS. Di dalamnya, para penguasa Malaya yang menyadari susutnya kekuasaan rekan sejawatnva di FMS sekuat tenaga rnempertahankan kemerdekaan dan menolak keras ide untuk rnemasukkan negara mereka ke dalam FMS. Akibatnya, para 'Penasehat' Inggris yang ditugaskan ke UMS tidak menikrnati tingkat pengaruh yang sama dengan rekan sejawat Residen 'rnereka di FMS. Longgarnya kontrol Inggris membuat UMS rnarnpu mempertahankan lebih banyak karakter Malaya dalam pemerintahan mereka: orang Melayu menempati banyak posisi dalam pemerintahan termasuk Menteri Besar (kepala pemerintahan), Ketua Sekretaris Negara (Sekretaris Negara, pegawai negeri sipil paling senior) dan mayoritas Pegawai Daerah (kepala pemerintahan lokal).
Malaya
Inggris tidak diperintah secara bersatu. Namun demikian, stabilitas politik
yang berhasil dipertahankan pemerintah Inggris memfasilitasi bidang usaha dan
lapangan kerja termasuk menarik kedatangan banyak orang Eropa yang mayoritas
orang Inggris. Sebagian besar orang Eropa ini menetap di Negara-negara pesisir
barat yang tidak lain adalah lokasi pusat-pusat perniagaan dan pemerintahan
serta distrik perkebunan. ( Ricklef, 2013, hal 279-280).
Di FMS, Inggris berpaya mengaitkan
anstokrasi dengan kekuasaan Inggris esensi dari apa yang dikenal sebagai
“pemerintahan tidak lansung” dengan mempertahankan elite tradisional yang
memerintah, Inggris tidak hanva mampu menampilkan restu warga Pribumi tcrhadap
keberadaan rezim asing tetapi juga mengatasi berbagai persoalan dengan
membentuk korp administratif yang memadai untuk 'Malaya. pada dasarnya, pemerintahan tidak lansung dijadikan alat membujuk
elite Melayu untuk menerima pemerintahan Inggris dan karenanya memastikan
stabilitas keseluruhan sistempolitik di Malaya.
Dalam tatanan politik Melayu prakolonial, penguasa-yang biasa disebut 'Yang Dipertuan' dalarn gelar Melayu, istilah Hindu 'Raja' atau Arab 'Sultan' berada di puncak kekuasaan. la menjadi sirnbol asosiasi. la mendapatkan kewenangan dan memerintah negara beserta rakyatnva dengan dukungan sejumlah pemirnpin dari berbagai tingkatan baik yang merniliki latarbelakang bangsawan pemerintah rnaupun non- pemerintah. Bersama-sama mereka membentuk elite penguasa. la juga menjadi pernbela dan penegak hukurn Islam yang dengan demikian menandainya sebagai khalifah Allah di bumi. Di bawah tatanan politik feodal Malaysia, kelas penguasa merniliki kekuasaan politik dan administratif terhadap rakyat yang diasumsikan akan melayani mereka dengan setia.
Dilestarikannya
tatanan sosial dan politik tradisional adalah penanda kekuasaan Inggris di negara-negara
Malaya. Namun, pada kenyataannya keseimbangan kekuasaan di dalam struktur telah
bergeser. Penguasa Malaya tetap bertakhta dengan bantuan hirarki kepala
distriknya meski sejatinya ia tidak lagi memerintah. Peran ini pada praktiknya
diambilalih Residen Inggris yang
seakan-akan diangkat hanya untuk memberi masukan kepada penguasa. Sama seperti
para kepala daerah juga kehilangan
kekuasaannya ketika mereka sebagian besar diambilalih oleh para Pegawai Daerah
Inggris. Cara ini ditempuh untuk menenangkan bangsawan Malaya dan mengamankan
kerjasama mereka dalam pemerintahan kerajaannya.( Ricklef, 2013: 344).
Keinginan
untuk memberi sedikit peran dalam aparatur pemerintahan kolonial kepada 'rekan
mereka' dan elite tradisional yang kehilangan kekuasaannya berkontribusi pada
stabilitas keseluruhan pemerintahan Melayu. Pejabat pernerintah kolonial pun
mulai memberikan pendidikan bahasa Inggris kepada sejumlah kecil generasi muda
kerajaan dan bangsawan agar bisa menjadi pegawai pernerintah dengan harapan
bahwa di masa depan mereka akan menjadi sekutu.
Para
pejabat pemerintah ini nantinya membentuk Malay Administrative Service (MAS)
sebagai cabang tambahan. MAS berada di
naungan Malayan Civil Service (MCS) —didominasi orang Inggris yang dibentuk
pada 1920 (lengan penggabungan Straits and EMS Civil Services. Karena dididik
dalarn bahasa Inggris, banyak anggota elite Melayu yang pelan-pelan tertarik
dengan keEropaan; Gaya hidup di pusat desa Malaya—mayoritas penduduk desa yang
mencari penghidupan sebagai petani padi dan nelayan—relatif tidak berubah.
Kebijakan Inggris cenderung tidak banyak mengintervensi dan sebaliknva
mempercayakan kesejahteraan orang Melayu kepada para ketua adat dan kepala
desa.
b. Kondisi Ekonomi Malaysia
Selama paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20 ekspansi ekonomi secara drastis kebanyakan didorong oleh meningkatnya permintaan terhadap komoditas primernya, khususnya timah dan karet. Tetapi, ketergantungan terhadap timah dan karet sebagai dua pilar utama ekonomi Malaya terbukti berbalik menjadi kelemahan ketika permintaan internasional sangat fluktuatif selarna periode antarperang. Hasilnya adalah dua periode kernerosotan ekonomi yang panjang; pertama pada 1920—1922 lalu periode 1929—1932. Pada awal abad ke-20 industri timah lokal telah mengalami pergeseran teknologi yang memberi jalan bagi Malaya untuk mempertahankan posisinya sebagai produsen timah terbesar dunia.
Dengan meningkatnya investai modal dan mekanisasi melalui penggunaan tenaga hidrolik, pompa batu kerikil dan diperkenalkannya pengeruk timba yang lebih mahal, yang tiba di Malaya pada 1912, dominasi industri secara bertahap beralih dari tangan Cina kepada Eropa. Hal ini terjadi karena penggunaan rnetode skala besar yang efisien tetapi padat modal—yang terbukti berada di luar jangkauan mayoritas orang Cina pemilik tambang—tidak hanya mernudahkan para penambang Eropa mengatasi kelebihan yang sebelumnya dirniliki orang Cina.
Kondisi sosial Malaysia
2.11 Kondisi Politik, Ekonomi, dan sosial di Singapura
a. kondisi Politik
Konstitusi Singapura berdasarkan sistem Westminster karena Singapura merupakan bekas jajahan Inggris. Posisi Presiden adalah simbolis dan kekuasaan pemerintahan berada di tangan perdana menteri yang merupakan ketua partai politik yang memiliki kedudukan mayoritas di parlemen. Arena politik dikuasai oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) yang telah memerintah sejak Singapura merdeka. Pemerintah PAP sering dikatakan memperkenalkan undang- undang yang tidak memberi kesempatan tumbuhnya penumbuhan partai-partai oposisi yang efektif. Cara pemerintahan PAP dikatakan lebih cenderung kepada otoriter daripada demokrasi yang sebenarnya. Namun, cara pemerintahan tersebut berhasil menjadikan Singapura sebuah Negara yang maju, bebas daripada korupsi dan memiliki pasar ekonomi yang terbuka. Para ahli politik menganggap Singapura sebuah negara yang berideologi 'Demokrasi Sosialis'.
b. kondisi Ekonomi
Singapura memiliki ekonomi pasar yang sangat maju, yang secara historis berputar di sekitar perdagangan entrepot bersama Hong Kong, Korea Selatan dan Taiwan , Singapura adalah satu dari Empat Macan Asia . Ekonominya sangat bergantung pada ekspor dan pengolahan barang impor, khususnya di bidang manufaktur yang mewakili 26% PDB Singapura tahun 2005 dan meliputi sektor elektronik, pengolahan minyak Bumi, bahan kimia, teknik mekanik dan ilmu biomedis. Tahun 2006, Singapura memproduksi sekitar 10% keluaran wafer dunia. Singapura memiliki salah satu pelabuhan tersibuk di dunia dan merupakan pusat pertukaran mata uang asing terbesar keempat di dunia setelah London, New York dan Tokyo. Bank Dunia menempatkan Singapura pada peringkat hub logistik teratas dunia.
Ekonomi Singapura termasuk di antara sepuluh negara
paling terbuka, kompetitif dan inovatif di dunia. Dianggap sebagai negara
paling ramah bisnis di dunia, Ratusan ribu ekspatriat asing bekerja di
Singapura di berbagai perusahaan multinasional. Terdapat juga ratusan ribu
pekerja manual asing. Sebagai akibat dari resesi global dan kemerosotan pada
sector teknologi, PDB negara ini berkurang hingga 2.2% pada 2001. Economic
Review Committee (ERC) didirikan bulan Desember 2001 dan menyarankan beberapa
perubahan kebijakan dengan tujuan merevitalisasi perusahaan. Sejak itu,
Singapura pulih dari resesi, terutama karena banyaknya perbaikan dalam ekonomi
dunia; ekonomi negara ini tumbuh 8,3% pada 2004 dan 6,4% pada 2005 and 7.9% in
2006.
Singapura memperkenalkan Pajak Barang dan Jasa (GST) dengan nilai awal 3% pada 1 April 1994 yang menambah pendapatan pemerintah sampai S $ 1,6 miliar (US $ 1 miliar, € 800 juta) dan menyeimbangkan keuangan pemerintah. [75] Nilai GST ditingkatkan menjadi 4% pada 2003, 5% pada 2004, dan 7% pada 1 Juli 2007. Banyak perusahaan di Singapura terdaftar sebagai perusahaan berkewajiban terbatas swasta (umumnya disebut perseroan terbatas swasta). Sebuah perseroan terbatas swasta di Singapura adalah entitas hukum terpisah dan pemegang saham tidak berkewajiban atas utan perusahaan yang melebihi jumlah modal saham yang ditanamkan.
c. kondisi sosial
Singapura merupakan salah satu Negara yang paling padat di dunia. Lahan
untuk pemukiman sudah sangat sempit. Delapan puluh lima persen (85%) penduduk
Singapura tinggal di rumah susun (apartemen). Mayoritas penduduk Singapura
adalah suku Cina (76,8%). Sementara penduduk aslinyaadalah Melayu. Lainnya
adalah India (7,9%). Bahasa-bahasa yang digunakan adalah Inggris, Melayu, Cina
(Mandarin), dan Tamil. Bahasa Melayu juga merupakan bahasa kebangsaan tetapi
lebih bersifat simbolis. Digunakan untuk menyanyikan lagu kebangsaan.
Penggunaan bahasa kebangsaan hanya terbatas kepada kaum Melayu saja. Hanya
sedikit etnis Cina dan India yang fasih dalam bahasa Melayu.
· Suku Bangsa: Cina, Melayu, India, Pakistan
·
Jumlah Penduduk : 4,198 juta (tahun 2004)
· Bahasa: Inggris (resmi), Melayu, Cina, Tamil
· Agama: Buddha, Kristen, Islam, Tao, dan Hindu
2.12 Kondisi politik, ekonomi dan sosial di Brunei
a. kondisi politik
Brunei Darussalam memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tanggal 1 Januari 1984, Brunei sepenuhnya negara kesultanan Islam yang berdaulat. Pemerintah Brunei Darussalam adalah negara yang memiliki corak pemerintahan monarki konstitusional dengan Sultan yang menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, merangkap seagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan dengan dibantu oleh Dewan.
Penasihat Kesultanan dan beberapa Menteri. Sultan Hassanal Bolkiah yang gelarnya diturunkan dalam wangsa yang sama sejak abad ke-15, adalah kepala negara dan pemerintahan Brunei. Baginda dinasihati oleh beberapa majelis dan sebuah kabinet menteri, walaupun baginda secara efektif merupakan pemerintah tertinggi. Media sangat mendukung pemerintah, dan kerabat kerajaan melestarikan status yang dihormati di dalam negeri. (Geldern dalam Konsep tentang Negara-negara Asia Tenggara.1982)
b. kondisi Ekonomi
Ekonomi Brunei Darussalam bertumpu
pada sektor minyak bumi dan gas dengan pendapatan nasional yang termasuk tinggi
di dunia satuan mata uangnya adalah Brunei Dolar yang memiliki nilai sama
dengan Dolar Singapura.Selain bertumpu pada sektor minyak bumi dan gas,
pemerintah Brunei mencoba melakukan diversifikasi sumber-sumber ekonomi dalam
bidang perdagangan. Namun dalam waktu dekat usaha tersebut mengalami hambatan
karena masalah internal kerajaan.
c. Kondisi sosial budaya
Dua pertiga dari jumlah penduduk Brunei adalah orang Melayu. Kelompok etnis minoritas yang paling penting dan yang menguasai ekonomi negara ialah orang Tionghoa (Han) yang menyusun lebih kurang 15% jumlah penduduknya. Etnis-etnis ini juga menggambarkan bahasa-bahasa yang paling penting bahasa Melayu yang merupakan bahasa resmi, serta bahasa Tionghoa. Bahasa Inggris juga dituturkan secara luas, dan ada sebuah komunitas ekspatriat yang cukup besar dengan sejumlah besar warga negara Britania dan Australia.
Islam adalah agama resmi Brunei, dan Sultan Brunei merupakan kepala agama negara itu. Agama-agama lain yang dianut termasuk agama Buddha (terutama oleh orang Tiong Hoa), agama Kristen, serta agama-agama orang asli (dalam komunitas- komunitas yang amat kecil). Budaya Brunei hampir sama dengan budaya Melayu, dengan pengaruh kuat dari Hindu dan Islam, tetapi terlihat lebih konservatif dibandingkan Malaysia.
BAB 3. PENUTUP
Pertarungan segitiga antara Johor, Aceh dan Malaka, Portugis untuk menguasai Selat Malaka terus bertahan sampai abad ke-17. Karena Portugis tidak memiliki surnber daya atau pun keinginan untuk mendominasi kedua Sisi Selat Malaka, Aceh-yang semakin berani setelah datangnya kekayaan baru dari para saudagar muslim yang memanfaatkan pelabuhan-pelabuhannya setelah jatuhnya, Malaka muncul sebagai pesaing kuat Johor dalam meraih hegemoni di negeri Melayu.
Pada 28 januari 1819 Rafles menyewa singapura pada sultan Johor. Tapi menimbulkan ketegangan dengan Belanda maka diselesaikanlah dengan Traktat London (1824), semenjak itu Singapura resmi menjadi wilayah kekuasaan Inggris. Tahun 1826 pulau Pinang, Malaka dan Singapura disatukan Inggris dalam satu wilayah kekuasaannya yang disebut Straits Settlements (Wilayah pemukiman selat Malaka) yang berbasis di pulau Pinang, kemudian dipindahkan ke Singapura tahun 1832.
Pada 1839, petualang Inggris James
Brooke sampai ke Kalimantan dan menolong Sultan Brunei menumpas sebuah
pemberontakan. Pemberontakanyang cukup
terkenalini terjadi pada masa Sultan
Omar Ali Saifuddin II. Sebagai imbalannya, ia
menjadi gubernur dan kemudian "Rajah Putih" dari Sarawak di
Kalimantan barat laut dan kemudian mengembangkan daerah kekuasaan di bawah
pemerintahannya.Namun ternyataBrooke memiliki maksud tersembunyi,
sejak menjabat sebagai gubenur, wilayahnya semakin diperluas secara bertahap.
Bahkan ia pernah meminta pemerintah Inggris untuk meneliti seberapa besar
potensi Brooke untuk dapatmenguasai Brunei, akan tetapi hasilnya mengecewakan.
Rekomendasi dari pemerintah Inggris menunjukkan bahwa meskipun Brunei
memiliki pemerintahyang sangat buruk, namun rakyatnya memiliki loyalitas dan
identitas nasionalyang sangat tinggi sehingga peluang Brooke untuk menguasai
Brunei kecil.Maksud tersembunyi ini akhirnya tercium juga oleh Sultan. Pada
tahun1843 terjadi konflik terbuka antara Brooke dan Sultan yang berakhir
dengankekalahan di pihak Brunei. Sultan akhirnya terpaksa mengakui
kemerdekaanSerawak.
DAFTAR
PUSTAKA
Hall, D.G.E. 1988. “Sejarah Asia Tenggara”. Surabaya: Usaha Nasional
Ricklefs M.C., Bruce Lockhart, Albert Lau, Portia
Reyes, dan Martil Aung Thwin. 2013. “Sejarah
Asia Tenggara”. Jakarta: Komunitas Bambu
Wikipedia.
“Singapura”.
http://en.wikipedia.org/wiki/Singapura. [tanggal 25 April 2015]
Wikipedia.
"Malaysia" . http://en.wikipedia.org/wiki/Malaysia. [tanggal 25 April 2015]
Wikipedia.
"Brunei" . http://en.wikipedia.org/wiki/Brunei. [Tanggal 25 April 2015]