BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia adalah suatu
negara kesatuan yang begitu besar dan beragam. Didalamya terdapat berbagai
pulau, suku, ras, adat istiadat dan lain sebagainya sampai bersatu dan menjadi
suatu negara kesatuan yaitu Republik Indonesia.
Dalam riwayatnya,
indonesia memiliki sejarah yang begitu panjang dan memberikan suatu kesan yang
mendalam bagi bangsa Indonesia. Memang tidak dipungkiri bahwa pendahulu bangsa
ini bukanlah para orang yang lemah, melainkan orang-orang yang kuat dan
memiliki jiwa tangguh. Namun dengan datangnya bangsa asing yang ingin menguasai
Indonesia dan berhasil menguasai sampai beberapa generasi menjadikan kondisi
yang berbeda bagi bangsa Indonesia sendiri saat itu. Bahkan untuk membayangkan
saja, menikmati kehidupan yang bebas, tanpa tekanan, dan penyiksaan dirasa
tidak terbayang sama sekali.
Namun dengan seiring
berjalanya waktu, harapan itu ada sesuai dengan perkembangan keadaan dan
perkembangan waktu harapan itu pun mulai ada dan memberikan suatu angin segar
bagi bangsa indonesia. Namun untuk mewujudkan sesuatu apa pun itu tidak lepas
dengan adanya suatu penggambaran perencanaan atau konsepsi didalamnya, mulai
hal yang kecil sampai sesuatu yang besar sekalipun. Dan dalam konteks kali ini
begitu juga dengan merencanakan suatu instansi yang besar seperti negara, tentu
saja membutuhkan pemunculan suatu konsepsi sebelumnya sebagai pemicu dan
langkah awal untuk membuat hal tersebut menjadi konkret.
Oleh sebab itu perlu
adanya suatu kajian dan uraian mengenai munculnya konsepsi Indonesia dalam
rangka untuk mengetahui cikal bakal angan serta harapan untuk mewujudkan suatu
negara yang merdeka dan bersatu yaitu Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa
yang dimaksud dengan konsepsi?
1.2.2
Bagaimanakah
negara Indonesia?
1.2.3
Bagaimana
sejarah akan munculnya konsepsi Indonesia?
1.2.4
Apa
yang dihasilkan dari munculnya konsepsi tersebut dan bagaimana pengaruhnya
terhadap bangsa Indonesia?
1.3 Tujuan
dan Manfaat
1.3.1
Tujuan dari makalah ini adalah
·
Mengetahui
dan memahami dengan apa yang dinamakan konsepsi;
·
Memahami
lebih jauh akan negara Indonesia;
·
Mengetahui
dan memahami akan sejarah munculnya konsepsi Indonesia, dan;
·
Mengetahui
akan hasil yang didapatkan dari munculnya konsepsi tersebut dan pengaruhnya
terhadap bangsa indonesia.
1.3.2
Manfaat dari makalah ini adalah
·
Lebih
memahami akan definisi dan hakikat konsepsi;
·
Lebih
memahami akan negara Indonesia serta sejarah munculnya konsepsi sebagai dasar
pembentukan bangsa indonesia;
·
Dapat
mengamati pengaruh akan konsepsi tersebut terhadap kehidupan bangsa Indonesia.
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Konsepsi
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata konsep diartikan sebagai rancangan
atau buram surat dan sebagainya, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
peristiwa konkret.
Secara istilah dapat mengandung dua hal yang berbeda, Lingkungan
gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain mengonsep atau membuat konsep (rancangan).
Dalam
artian lebih lengkap mengenai kata konsepsi, dalam konteks ini konsepsi
diansumsikan sebagai rancangan (cita-cita dan sebagainya) yang telah ada dalam
pikiran.
Dari
pengertian uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kata dasarnya
konsepsi yaitu konsep, dapat dianggap suatu rancangan perencanaan, ide atau
sesuatu yang masih abstrak dalam pemikiran yang kedepannya tentu ingin untuk
diwujudkan menjadi sesuatu yang nyata dan ingin dirasakan. Dan dalam pengertian
lengkapnya dari kata dasar konsep yang dalam hal ini adalah menjadi konsepsi
diartikan sebagai rancangan atau cita-cita yang telah ada dalam pikiran. Dari
pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsepsi adalah
suatu penggambaran ide yang abstrak dan didalamnya berisi suatu cita-cita yang
tentunya dalam waktu kedepan diharapkan menjadi sesuatu yang konkret atau nyata
dan dapat dirasakan keberadaanya serta manfaatnya bagi individu ataupun orang
banyak tergantung ide apa yang ingin di capai.
2.2
Negara Indonesia
Republik Indonesia
disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara
yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia
serta antara Samudra Pasifik dan Samudra
Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau. Nama alternatif yang biasa
dipakai adalah Nusantara. Dengan populasi sekitar sebesar 260 juta jiwa pada
tahun 2013, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan
negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, sekitar 230 juta meskipun secara
resmi bukanlah negara Islam. Bentuk pemerintahan Indonesia
adalah republik,
dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden yang dipilih langsung.
Ibu
kota negara ialah Jakarta. Indonesia berbatasan darat dengan
Malaysia
di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini
di Pulau Papua
dan dengan Timor Leste di Pulau Timor
(mantan bagian provinsi dari indonesia). Negara tetangga lainnya adalah Singapura,
Filipina,
Australia,
dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India.
Sejarah
Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi
wilayah perdagangan penting setidaknya sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya di Palembang
menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India.
Kerajaan-kerajaan Hindu
dan Buddha
telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai
kekuatan Eropa
yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa
era penjelajahan samudra. Setelah berada di bawah penjajahan Belanda, Indonesia yang saat
itu bernama Hindia Belanda menyatakan kemerdekaannya
di akhir Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat
berbagai hambatan, ancaman dan tantangan dari bencana alam, korupsi,
separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.
Dari
Sabang
sampai Merauke,
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama. Berdasarkan
rumpun bangsa (ras), Indonesia terdiri atas bangsa asli pribumi yakni Melayu
dan Papua di mana bangsa Melayu yang terbesar jumlahnya dan lebih banyak
mendiami Indonesia bagian barat. Berdasarkan bangsa yang lebih spesifik, suku bangsa
Jawa adalah suku bangsa yang termasuk dalam rumpun bangsa Melayu
Deutero dan terbesar dengan populasi mencapai 41,7% dari seluruh
penduduk Indonesia. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka tunggal ika"
("Berbeda-beda tetapi tetap satu"), berarti keberagaman yang
membentuk negara. Selain memiliki populasi padat dan wilayah yang luas,
Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di
dunia.
Indonesia
juga anggota dari PBB
dan satu-satunya anggota yang pernah keluar dari PBB, yaitu pada tanggal 7 Januari
1965, dan bergabung
kembali pada tanggal 28 September 1966 dan Indonesia tetap
dinyatakan sebagai anggota yang ke-60, keanggotaan yang sama sejak bergabungnya
Indonesia pada tanggal 28 September 1950. Selain PBB, Indonesia juga
merupakan anggota dari ASEAN, APEC,
OKI, G-20 dan akan menjadi
anggota dari OECD.
2.2.1
Asal Mula Nama Indonesia
Menurut
Wikipedia Indonesia edisi (2007), pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut
dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa
kawasan kepulauan tanah air diberi nama Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan).
Berbagai catatan kuno bangsa India menamakan kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah
Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta,
dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana
karya pujangga Valmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana,
sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di
Kepulauan Dwipantara.
Pada
jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie
(Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah
To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan
nama samaran Multatuli,
pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air
kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin
insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer. Pada tahun 1920-an,
Ernest Francois Eugene Douwes Dekker
(1879-1950), yang dikenal
sebagai Dr. Setiabudi
(cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang
tidak mengandung unsur kata India.
Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam
berabad-abad lamanya.
Setiabudi
mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit
yang ditemukan di Bali
pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh Brandes dan diterbitkan oleh Krom pada tahun 1920. Pengertian Nusantara
yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada zaman Majapahit, Nusantara
digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa
Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa
(Pulau Jawa).
Sumpah Palapa
dari Gajah Mada
tertulis Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa (Jika telah
kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr.
Setiabudi mengungkapkan bahwa nusantara pada zaman Majapahit mengalami
keterbelakangan. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki
arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa
pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari
Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif
dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk
menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.
Pada
tahun 1847
di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian
Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh Logan (1819-1869), seorang Skotlandia
yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinurgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi
bangsa Inggris, Earl (1813-1865), menggabungkan diri
sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl
menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and
Malay-Polynesian Nations, yang menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi
penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a
distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan
penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau
Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71
artikelnya itu tertulis:
“… the inhabitants
of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively
Indunesians or Malayunesians”.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu)
daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras
Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka), dan Maldives (Maladewa).
Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini.
Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak
memakai istilah Indunesia. Dalam majalah JIAEA Volume IV itu juga,
halaman 252-347, Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun
menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian
Archipelago terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama
Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar
ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Untuk pertama kalinya
kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak dalam tulisan Logan:
“Mr. Earl suggests
the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I
prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter
synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago“.
Pada
waktu mengusulkan nama Indonesia,
Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi.
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama Indonesia dalam
tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di
kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi
di Universitas Berlin, Bastian (1826-1905) menerbitkan buku
Indonesien “oder die Inseln des Malayischen Archipel” sebanyak lima
volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun
1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah
yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga
sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat
yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van
Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah Indonesia itu dari tulisan-tulisan
Logan.
Pribumi
yang mula-mula menggunakan istilah Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri
Belanda tahun 1913
beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers Bureau. Nama indonesisch
(Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof
Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan
dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia).
2.3
Sejarah Munculnya Konsepsi Indonesia
Setelah begitu lama
bangsa Indonesia mendapatkan perlakuan penjajahan yang begitu menyiksa dari
Belanda, namun pada saat tertentu seiring dengan kemajuan pemikiran serta
semakin berkembangnya pemikiran manusia. Hal tersebut juga memberikan andil
pengaruh yang begitu luar biasa terhadap keadaan bangsa Indonesia yang pada
saat itu sedang mendapatkan penjajahan dari bangsa lain yaitu Belanda. Dalam
perkembanganya, akrinya bangsa Indonesia sedikit demi sedikit mendapatkan suatu
penggambaran yang manis dari suatu negara yang pada saat itu masih menjadi
suatu bayangan yaitu Indonesia. Uraian penggambaran dari munculnya konsepsi
Indonesia dapat digambarkan dalam beberapa tahapan penggambaran.
2.3.1
Zaman Penjajahan Baru
Pada permulaan abad XX,
kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar
dalam sejarahnya. Kekuasaanya memperoleh definisi kewilayahan baru dengan
selesainya upaya-upaya penaklukan yang telah dibicarakan dalam bab sebelumnya.
Kebijakan kolonial belanda tersebut kini juga memiliki tujuan baru. Eksploitasi
terhadap indonesia mulai kurang dijadikan alasan utama kekuasaan Belanda, dan
digantikan dengan dengan pernyataan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan
Indonesia. Kebijakan ini dinamakan ‘Politik Etis’. Masa di mana kebijakan ini
muncul melahirkan perubahan-perubahan yang begitu mendasarnya di lingkungan
penjajahan sehingga orang tidak akan dapat memahami sejarah Indonesia pada awal
abad XX tanpa mengacu pada kebijakan tersebut. Sebenarnya, dalam
kebijakan-kebijakan Politik Etis terdapat lebih banyak janji daripada pelaksanaan,
dan fakta-fakta penting tentang eksploitasi dan penaklukan sesungguhnya tidak
berubah, tetapi ini tidak mengurangi arti penting zaman penjajahan baru ini.
Politik etis berakar
pada masalah kemanusiaan dan sekaligus pada keuntungan ekonomi. Kecaman-kecaman
terhadap pemerintahan bangsa Belanda yang dilontarkan dalam novel Max Havelar
(1860) dan dalam berbagai pengungkapan lainya mulai pembuahan hasil. Semakin
banyak suara Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan
rakyat Jawa yang tertindas. Pada akhir abad XIX, para egawai kolonial baru
berangkat menuju Indonesia dengan membawa Max Havelar di dalam koper mereka dan
isi novel itu dikepala mereka. Selama zaman ‘liberal’ (kurang lebih 1870-1900),
kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan
penjajahan. Industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang
potensional yang standar hidupnya perlu ditingkatkan. Modal Belanda maupun
internasional mencari peluang-peluang bagi baru investasi dan eksploitasi
bahan-bahan mentah, khususnya didaera-daerah luar jawa. Kebutuhan akan tenaga
kerja Indonesia dalam perusahaan-perusahaan modern pun terasa. Oleh karena itu
kepentingan-kepentingan bisnis mendukung keterlibatan yang semakin intensif dan
penjajah dalam rangka mencapai ketentraman, keadilan, moderenitas, dan
kesejahteraan. Para pejuang kemanusiaan membenarkan apa yang oleh kalangan
pengusaha diperkirakan akan menguntungkan itu, dan lahirlah politik etis tadi.
Pada tahun 1899, C. Th.
Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonsia selama tahun
1880-97/, menerbitkan sebuah artikel berjudul “ End eeresschuld”, “suatu hutang
kehormatan”, di dalam jurnal Belanda de
Gids. Dia menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada Indonesia semua
kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayarkan
kembali dengan jalan memberikan prioritas utama kepada kepentingan rakyat
Indonesia didalam kebijakan kolonial. Pada tahun 1901, Ratu Wilhelmina (m.
1890-1948) mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa, dan
dengan demikian politik Etis secara resmi disahkan. Pada tahun 1902, Alexander
W.F. Idenburg menjadi Menteri Urusan Daerah Jajahan (1902-5, 1908-9, 1918-9).
Dengan memegang jabatan ini dan jabatan Gubernur Jenderal (1909-16), Idenburg
pun mempraktikan pemikiran-pemikiran politik Etis, lebih dari siapapun. Pihak
belanda menyebutkan tiga prinsip yang dianggap merupakan dasar kebijakan baru
tersebut: pendidikan, pengairan, dan perpindahan pendidikan. Untuk melaksanakan
proyek-proyek semacam itu diperlukan dana. Oleh karena itu, hutang pemerintah
kolonial yang mencapai sekitar 40 juta gulden diambil alih oleh pemerintah
Belanda, sehingga Batavia dapat meningkatkan pengeluaran tanpa harus dibebani
hutang lagi. Politik Etis mulai berjalan.
Semua ini berlangsung
dalam suatu lingkungan ekonomi yang sedang berubah dengan cepat, aksi-aksi
penaklukan di daerah-daerah luar Jawa telah memperluas wilayah kekuasaan
Belanda, dan daerah-daerah tersebut menjadi fokus yang lebih penting daripada
Jawa dalam pembangunan ekonomi baru. Adanya kandungan-kandungan minyak bumi di
daerah Langkat, Sumatera Utara, telah diketahui sejak tahun 1860-an. Daerah ini
merupakan kawasan yang tidak tenang selama berkecamuknya Perang Aceh. Pada
tahun 1883, A.J. Zijlker mendapat persetujuan pemerintahan untuk suatu konsesi
dari Pangeran Langkat, dan dimulailah pengeboran-pengeboran percobaan. Setelah
menghadapi banyak masalah di bidang personel, keuangan medan, iklim, dan
kebakaran sumur pada tahun 1888, akhirnya minyak mulai mengalir dalam jumlah
yang menjanjikan.
Pada mulanya, minyak
bumi dimanfaatkan terutama untuk minyak lampu. Memang merupakan salah satu
kejadian luar biasa yang sifatnya kebetulan di dalam sejarah moderen bahwa
tepat ketika lampu pijar, yang diproduksi secara komersial mulai tahun 1880-an,
mengancam akan menghancurkan industri minyak bumi, mobil-mobil dengan mesin
yang menggunkan minyak bumi memberi peluang baru kepada industri minyak bumi,
mulai sekitar tahun 1900 dan seterusnya. Perusahaan-perusahaan-perusahaan lain
segera tertarik pada kandungan minyak bumi Indonesia. Produk baru lainya adalah
karet, yang juga berhubungan erat dengan industri mobil yang baru itu. Pohon
karet yang asli, ficus elastica,
diusahakan menjadi tanaman perkebunan di Jawa Barat dan pesisir timur Sumatera
mulai tahun 1864.
Bukan hanya para
pengusaha Belanda yang aktif di Indonesia. Pembentukan Royal Dutch Shell pada
tahun 1907 mencerminkan internasionalisasi investasi secara umum. Pengembangan
pertanian hampir sepenuhnya dikuasai Belanda. Akan tetapi, kira-kira 70% dari
modal Belanda pada tahun 1929 diinvestasikan di Jawa, kira-kira separo
diantaranya pada tebu. Pembangunan di luar Jawa lebih menginternasional. Semua
kegiatan tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah luar Jawa telah mengungguli
Jawa, baik sebagai pusat investasi maupun sumber expor. Komoditi-komoditi
ekspor Jawa yang terpenting adalah kopi, teh, gula, karet, ubi kayu, dan
tembakau. Untuk sebagian besar komoditi ini, hasil produksi daerah-daerah luar
Jawa lebih banyak daripada Jawa. Sering sekali terjadi pasang surut, akan
tetapi secara keseluruhan nilai ekspor di Jawa menurun hampir 70% dari tahun
1880.
Bergesernya kegiatan
ekonomi ke daerah-daerah luar Jawa itu menimbulkan kesulitan yang besar dalam
kebijakan pemerintah, kesulitan yang terus berlangsung sejak saat itu. Kini
lapangan-lapangan investasi dan penghasil-penghasil komoditi ekspor yang
terpenting adalah daerah-daerah luar Jawa. Akan tetapi, masalah-masalah
kesejahteraan yang utama, tuntutan-tuntutan pokok terhadap ‘hutang kehormatan’
adalah di Jawa. Dalam teori, program-program kesejahteraan di Jawa dapat
dibiayai dengan mengharuskan daerah-daerah luar jawa memberikan subsidi bagi program-program
tersebut, sehingga menghindari naiknya pajak yang sudah sangat berat di Jawa.
Dengan demikian, perbedaan antar Jawa dan luar Jawa yang berakar pada masa lalu
menjadi semakin mencolok sekarang. Daerah-daerah luar Jawa mempunyai ikatan
dengan islam yang lebih mendalam, kegiatan kewiraswastaan yang lebih besar,
komoditi-komoditi ekspor yang lebih berharga, dan investasi asing yang lebih
besar.
Pertumbuhan ekonomi dan
masalah kesejahteaan penduduk pribumi hanya berkaitan dalam proyek-proyek infrastruktur
saja. Misalnya, perluasan jaringan rel kereta api dan trem. Pada tahun 1867,
jaringan rel kereta api diseluruh wilayah Hindia Timur Belanda hanya mencapai
panjang kira-kira 25 kilometer, dan pada tahun 1873 hanya sekitar 260
kilometer. Akan tetapi setelah itu terjadi perkembangan yang sangat pesat. Pada
tahun 1930, jaringan rel kereta api dan trem sudah mencapai panjang 7.425
kilometer. Belanda meningkatkan produksi bahan pangan dengan jalan mengadakan
percobaan dengan bibit-bibit baru, mendorong pemakaian pupuk, dan sebagainya. Usaha-usaha
ini sangat berhasil, tetapi tidak sebanding dengan banyaknya penduduk.
Pertambahan jumlah
penduduk memengaruhi semua perkembangan yang terjadi selama zaman penjajahan
baru ini dan juga menghantui sejarah Indonesia semenjak itu. Singkatnya,
penduduk Jawa (khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur) meningkat sampai sangat
berlebihan, sementara di daerah-daerah luar Jawa masih banyak daerah yang
jarang penduduknya atau tidak berpenduduk samasekali. Dengan demikian, hampir
70% penduduk Indonesia pada tahun 1930 tinggal di Jawa dan Madura, yang luasnya
sekitar 7%dari luas seluruh daratan Indonesia. Jawa, yang pernah menjadi
lumbung padi lumbung padi Nusantara, sekarang telah menjadi wilayah yang
kekurangan bahan pangan.
Pertumbuhan penduduk
Jawa mempunyai kaitan yang mendasar dengan tingkat kesejahteraanya yang rendah,
tetapi pihak Belanda tidak mempunyai kebijakan yang dapat memecahkan masalah
tersebut. Memang sulit untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan. Kecuali
beberapa eksperimen yang terbatas dan gagal dalam pembaharuan agraria,
satu-satunya jawaban yang diberikan Belanda adalah emigrasi dari Jawa ke luar
Jawa, suatu kebijakan yang masih terus dilanjutkan setelah kemerdekaan
Indonesia dengan nama ‘transmigrasi’. Pihak Belanda telah meningkatkan anggaran
belanja mereka untuk proyek-proyek kesehatan umum sebesar hampir sepuluh kali
lipat antara tahun1900 dan 1930. Akan tetapi, menghadapi kemiskinan yang
mendalam dan penduduk Jawa yang terlalu banyak, hasilnya terbatas. Diadakanya
berbagai program imunisasi, kampanye-kampanye anti malaria, dan
perbaikan-perbaikan kesehatan barangkali menyebabkan turunya angka kematian,
walaupun angka-angka statistinya masih diragukan.
Desa akan menjadi
perangkat pokok pemerintah dalam mengusahakan kesejahteraan. Peraturan Desa
tahun 1906 dan praktik-praktik selanjutnya dari pihak Belanda bertujuan untuk
meningkatkan peran serta rakyat secara demokratis dalam urusan-urusan desa,
untuk meningkatkan kepaduan sosial, serta untuk memungkinkan Residen dan Controleur Belanda, bersama kepala desa,
memimpin desa menuju langkah-langkah kesejahteraan yang diperlukan usaha-usaha
tersebut gagal. Kemiskinan dan kelebihan penduduk itu sendiri agaknya cukup
untuk merusak kehidupan desa-desa Jawa yang otonom dan semidemokratis.
Bagaimanapun juga, beban paternalisme Belanda memastikan akibat ini. Belanda
berpendapat bahwa desa Jawa merupakan unit pemerintah yang tidak efisien.
Banyak sekali usaha
yang dijalankan di bidang pendidikan, dan hasil-hasilnya sering kali membuat
bangga para pejabat Belanda. Semua pendukung politik Etis menyetujui
ditingkatkanya pendidikan bagi rakyat Indonesia, tetapi ada dua aliran
pemikiran yang berbeda mengenai jenis pendidikan yang bagaimanan dan untuk
siapa. Di bawah Abendanon, pendekatan elitislah yang diutamakan. Pada tahun
1900, tiga hoofdenscholen, “sekolah
para kepala”, yang lama di Bandung, Magelang, dan Probolinggodisusun kembali
menjadi sekolah-sekolah yang nyata-nyata direncanakan untuk menghasilkan
pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Opleidingscholen voor
inlandsche ambtenaren, “sekolah pelatihan untuk para pejabat pribumi “).
Dalam pelaksanaan
pembaharuan-pembaharuan tersebut, Abendanon menghadapi tentangan dari berbagai
kalangan, termasuk para bupati yang lebih konservatif. Bagaimanapun juga, dia
tetap gigih dan baru gagal ketika ingin memperluas kesempatan pendidikan bagi
kaum wanita Jawa kalangan atas. Cita-cita tentang pendidikan kaum wanita yang
begitu didambakan oleh Kartini dan Abendanon tersebut tidak pernah mendapat
prioritas pemerintah, terutama karena pengaruh para bupati yang konservatif dan
pejabat-pejabat kolonial yang skeptis. Selama Van Heutsz menjabat sebagai
Gubernur Jendral (1904-9) dan Dirk Fock menjabat Menteri Urusan Daerah jajahan
(1905-8) di Negeri Belanda, gagasan mengenai pendidikan rakyat memperoleh lebih
banyak dukungan. Fock mengutamakan sekolah-sekolah teknik dan kejuruan. Snouck
Hurgronje dan para pengikutnya menyatakan bahwa para tamatan sekolah-sekolah
tersebut tidak akan mmembangkitkan perusahaan-perusahaan pribumi, seperti yang
diharapkan Fock, tetapi hanya mendapat pekerjaan di Perusahaan-perusahaan
Eropa.
Perbaikan-perbaikan
pendidikan yang paling berarti adalah dalam sistem sekolah dasar dua kelas yang
dibuka secara kecil-kecilan untuk orang-orang Indonesia sejak tahun 1892-3.
Sekolah-sekolah Kelas Satu diperuntukkan bagi golongan atas, sedangkan
sekolah-sekolah Kelas Dua untuk rakyat jelata. Orang-orang Indonesia kini
mempunyai kesempatan lebih luas untuk memperoleh pelajaran bahasa Belanda,
tetapi masih ada masalah yang sifatnya struktural. Sekolah-sekolah Kelas Satu
berada dalam sisitem pendidikan ‘pribumi’; tidak ada kesempatan bagi seorang
Indonesia untuk melompat dari sistem ini ke sistem Eropa yang paralel, yang
merupakan satu-satunya lembaga untuk menuju ke pendidikan lanjutan. Oleh
karenanya sekolah Kelas Satu diubah menjadi sekolah “Belanda Pribumi” (HIS)
pada tahun 1914.
Di atas tingkatan HIS,
pemisahan ras dalam pendidikan sudah tidak ada. Pada tahun 1914,
sekolah-sekolah MULO (Meer uitgebreid lager onderwijs, “pendidikan rendah yang
lebih diperpanjang”, semacam SLTP) didirikan untuk-orang Indonesia golongan
atas, orang-orang Cina, dan orang-orang Eropa yang telah menyelesaikan sekolah
dasar mereka masing-masing. Pada tahun 1919, AMS didirikan untuk membawa para
murid memasuki tingkat perguruan tinggi. Pembaharuan sekolah-sekolah Kelas Satu
dan pengembangan-pengembangan lebih lanjut dalam pendidikan yang dibicarakan di
atas samasekali tidak ada kaitanya dengan rakyat Indonesia golongan bawah.
Untuk mereka, sekolah-sekolah Kelas Dua disediakan.
Pada tahun 1907, Van
Heutsz berhasil mendapat jawabannya. Sekolah-sekolah desa (desascholen, juga disebut volkscholen,
“sekolah rakyat”) akan dibuka yang sebagian besar biayanya ditanggung oleh
penduduk desa sendiri, tetapi dengan bantuan pemerintah seperlunya. Seperti
halnya dengan banyak perbaikan Etis lainya, pemerintah menetapkan apa yang baik
untuk rakyat Indonesia dan sesudah itu memberitahukan berapa yang harus mereka
bayar demi perbaikan itu. Pada tahun 1908, sekolah Kelas Dua menjadi Standaard
scholen, “sekolah standar”, dan kini diperuntukkan bagi mereka yang menggeluti
perdagangan atau yang meninggalkan kehidupan desa yang agraris; bagi mereka
yang masih hidup dalam lingkungan desa, diperuntukkan sekolah desa.
Sistem sekolah yang
rumit kini tampaknya terbuka bagi setiap orang, terkecuali anak desa yang ingin
melanjutkan dari sekolah desanya ke tingkat lanjutan, yang hanya ada dalam
sistem Eropa. Pada tahun 1921 dibuka Schakelschool, “sekolah sambungan”’, yang
pertama, yang masa pendidikanya lima tahun, yang merupakan lanjutan dari
tingkat sekolah desa sampai tingkat akhir HIS.
Titik puncak upaya perbaikan pendidikan tersebut, seperti halnya
langkah-langkah perbaikan Etis lainya, tercapai sekitar tahun 1930. Setelah
itu, depresi menghentikan semua perkembangan besar yang baru, walaupun jumlah
tempat untuk bersekolah bagi anak-anak terus bertambah.
Dalam sensus tahun
1930, perbandingan orang Indonesia usia dewasa di seluruh kepulauan yang sudah
melek huruf hanya 7,4%; di Sumatera 13,1%, di Jawa dan Madura 6%, dan di Bali
dan Lombok 4%. Sebagian dari jumlah tersebut merupakan tamatan dari
lembaga-lembaga pendidikan pribumi, baik sekolah-sekolah Qur’an yang lama
maupun sekolah-sekolah yang lebih modern. Pendidikan tidak menghasilkan elite
baru yang tahu berterima kasih dan bersedia bekerja sama, tidak pula melahirkan
semangat baru yang berkobar-kobar di kalangan rakyat; langkah-langkah
kesejahteraan umumnya tidak menghasilkan kesejahteraan.
Desentralisasi adalah
sasaran utama para pendukung politik Etis: desentralisasi dari Den Haag ke
Batavia, dari Batavia ke daerah-daerah, dari orang-orang Belanda ke orang-orang
Indonesia. Akan tetapi, walaupun dilakukan langkah-langkah perubahan, Den Haag
masih tetap menguasai Indonesia. Dewan-dewan lokal untuk kota-kota besar mulai
dibentuk pada tahun 1905. Pada tahun 1939, ada 32 dewan kota (19 diantaranya di
Jawa).langkah paling nyata ke arah desentralisasi dan peningkatan peran serta
orang-orang Indonesia dalam pemerintahan adalah pembentukan Volksraad, “dewan
rakyat”, yang menyelenggarakan sidangnya yang pertama pada tahun 1918. Pada
masa awalnya, Volksraad merupakan sumber banyak kecaman dan desakan terhadap
pemerintah kolonial. Suatu staatsinrichting
(konstitusi) baru untuk Indonesia yang diberlakukan pada tahun 1925 telah
menurunkan Dewan Hindia menjadi badan penasihat dan memberi Volksraad
wewenang-wewenang legislatif yang terbatas . anggaran belanja dan pembuatan
peraturan dalam negeri lainya memerlukan persetujuan Volksraad, dan lembaga ini
dapat mengajukan perundang-undangan.
Sebuah pertanyaan besar
tentang periode politik Etis yang telah menimbulkan perbedaan pendapat di
antara banyak ilmuwan adalah kapan kebijakan tersebut berakhir. Beberapa pendapat
telah diajukan. Ada yang menyebutkan periode Menteri Daerah Jajahan Simon de
Graff (1919-25) yang konservatif dan Dirkfock sebagai gubernur jenderal
(1921-6). Akan tetapi, apabila kita memperhatikan bentuk umum dari masa
penjajahan yang baru ini, pertanyaan mengenai kapan masa tersebut berakhir
menjadi semakin rumit.
2.3.2 Langkah-langkah Pertama Menuju Kebangkitan
Nasional, Sekitar Tahun 1900-27.
Tiga dasawarsa pertama
abad XX bukan hanya menjadi saksi penentuan wilayah Indonesia yang baru dan suatu
pencanangan kebijakan penjajahan yang baru. Masalah-masalah dalam masyarakat
Indonesia juga mengalami perubahan yang begitu besar sehingga, dalam
masalah-masalah politik, budaya dan agama, rakyat Indonesia menempuh jalan
baru. Perubahan yang cepat terjadi di
semua wilayah yang baru saja ditaklukan oleh Belanda. Akan tetapi, dalam hal
gerakan-gerakan anti-penjajah dan pembaharuan yang mula-mula muncul pada masa
ini, Jawa dan daerah Minangkabau di Sumatera menarik perhatian yang khusus.
Perubahan-perubahan yang terjadi disana sedemikian rupa sehingga sejarah Indonesia moderen memasuki zaman dan
memperoleh kosa kata baru.
Perkembangan-perkembangan
pokok pada masa ini adalah munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan
dikenalnya definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang identitas. Ide baru
tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk kepemimpinanyang baru, sedangkan definisi
yang baru dan lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang lebih
mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan ekonomi. Kalangan
priyayi Jawa yang ‘baru’ atau yang ‘lebih rendah’, pejabat-pejabat yang maju
dan yang memandang pendidikan sebagai kunci menuju kemajuan adalah kelompok
pertama yang mengambil prakarsa. Kelompok ini mewakili suatu aliran sosial dan
budaya yang penting di Indonesia pada abad XX. Mereka terutama adalah
‘abangan’, suatu istilah Jawa untuk menyebut orang-orang muslim yang
keislamanya jarang lebih daripada sekedar komitmen formal dan non formal saja.
Gagasan pembebasan
bangsa Indonesia lewat pendidikan kaum priyayi didorong sejak awal oleh jurnal Bintang Hindia, terbitkan pertama kali
di Belanda pada tahun 1902. Dr. Wahidin Soedirohusodo (1857-1917) adalah
inspirator bagi pembentukan organisasi moderen pertama untuk kalangan priyayi
Jawa. Ia juga lulusan sekolah Dokter-Jawa dan bekerja sebagai dokter pemerintah
di Yogyakarta sampai tahun 1899. Wahidin berusaha menghimpun beasiswa guna
memberikan pendidikan Barat kepada golongan priyayi Jawa. Akan tetapi, hanya
segelintir pejabat dari generasi tua atau kelas bupati yang bergairah; elite
yang bersifat turun-temurun ini sebenarnya cenderung merasa takut menghadapi
persaingan dari golongan priyayi rendah yang sedang tumbuh.
Pada tahun 1907,
Wahidin berkunjung ke STOVIA. Di sana, di salah satu lembaga terpenting yang
menghasilkan priyayi rendah Jawa itu, dia mendapat tanggapan yang bersemangat
dari murid-murid sekolah tersebut. Diambil keputusan untuk membentuk suatu
organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priyayi rendah. Pada
bulan Mei 1908, diselenggarakan suatu pertemnuan yang melahirkan Budi Utomo. Budi
Utomo pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Organisasi
ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatianya meliputi penduduk Jawa dan
Madura; dengan demikian, mencerminkan kesatuan administrasi kedua pulau itu dan
mencakup masyarakat Sunda dan Madura yang kebudayaanya berkaitan erat dengan
Jawa.
Pada bulan Oktober
1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Yogyakarta. Pada
saat itu, Wahidin tinggal menjadi sesepuh saja dan bermunculan suara-suara baru
untuk mengatur organisasi tersebut. Tjipto Mangunkusumo (1885-1943), yang
radikal dan juga seorang dokter, memimpin sekelompok minoritas. Gubernur
Jenderal Van Heutsz menyambut baik Budi Utomo, persisi seperti ia sebelumnya
menyambut baik penerbitan Bintang Hindia,
sebagai tanda keberhasilan politik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya:
suatu organisasi pribumi yang progresif moderat yang dikendalikan oleh para
pejabat yang maju. Pada umumnya, Budi Utomo sudah mengalami kemandekan hampir
sejak awal permulaanya, baik karena kekurangan danamaupun karena kekurangan
yang dinamis. Organisasi ini mendesak pemerintah untuk menyediakan lebih banyak
pendidikan Barat, tetapi desakan itu tidak begitu berperan dalam upaya-upaya
perbaikan.
Organisasi-organisasi
yang lebih aktif dan penting segera berdiri. Beberapa di antaranya bersifat
keagaman, kebudayaan, dan pendidikan beberapa lagi bersifat politik, dan
beberapa yang lain bersifat keduanya. Organisasi-organisasi itu bergerak di
klangan masyarakat bawah dan untukyang pertama kalinya terjalin hubungan antara
rakyat desa dan elite-elite baru. Dalam masyarakat Jawa, kelompok minoritas
yang berusaha benar-benar menaati kewajiban-kewajiban islam dalam kehidupan
sehari-hari disebut, secara silih berganti, wong
muslimin (kaum muslim), putihan (golongan
putih), atau santri (murid sekolah
agama). Pada tahun 1909, seorang lulusan OSVIA bernama Tirtohadisurjo
(1880-1918), yang telah meninggalkan dinas pemerintahan dan menjadi wartawan,
mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1910, dia mendirikan
organisasi semacam itu lagi di Buitenzorg (Bogor). Kedua organisasi tersebut
dimaksudkan untuk membantu pedagang-pedagang Indonesia.
Pada tahun 1912,
organisasi tersebut mengubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI). Tirtoadisurjo
dan Samanhudi terlibat cekcok. Samanhudi, yang sebagian besar waktunya tersita
untuk urusan dagang, lalu meminta Tjokroaminoto untuk memimpin organisasi itu.
Sejak tahun 1912, SI berkembang dengan pesat, dan untuk yang pertama kalinya
tampak adanya basis rakyat walaupun sukar dikendalikan dan hanya berlangsung
sebentar. Pada tahun 191, SI menyatakan mempunyai anggota 2 juta orang, tetapi
jumlah yang sesungguhnya mungkin tidak pernah lebih dari setengah juta orang.
SI menyatakan setia
kepada rezim Belanda. Tetapi ketika organisasi tersebut berkembang di
desa-desa, maka meletuslah tindak kekerasan. Rakyat pedesaan tampaknya lebih
menganggap SI sebagai alat bela diri dalam melawan struktur kekuasaan lokal
yang kelihatanya monolitis, yang tidak sanggup mereka hadapi, daripada sebagai
gerakan politik moderen. Gubernur Jenderal Idenburg secara hati-hati mendukung
SI. Pada tahun 1913, dia memberi pengakuan resmi kepada SI. Meskipun demikian,
dia tidak mengakuinya sebagai suatu organisasi nasional yang dikendalikan oleh
markas besarnya, melainkan hanya sebagai kumpulan cabang-cabang yang otonom.
Suatu bentuk protes pedesaan yang lebih istimewa juga mencapai puncaknya pada
tahun 1914. Di daerah Blora bagian selatan (Jawa Tengah-Utara), seorang petani
Jawa yang buta huruf bernama Surantiko Samin (1859-1914) telah menghimpun
pengikut dari kalangan para petani yang menolak segala bentuk kekuasaan dari
luar, dan yang khususnya tidak menyukai peraturan-peraturan kehutanan yang baru
diterapkan dikawasan hutan jati ini.
Pada masa sesudah
sekitar tahun 1909, di seluruh Indonesia banyak bermunculan
organisasi-organisasi baru dikalangan elite terpelajar, yang sebagian besar
didasarkan atas identitas-identitas kesukuan. Para mahasiswa STOVIA di Batavia,
tempat Budi Utomo lahir pada tahun 1908, juga menghasilkan beberapa organisasi
baru ini, meliputi TRI Koro Dharmo (1915) yang di tahun 1918 menjadi Jong Java,
“pemuda Jawa”, Jong Sumantranen Bond, ‘PERSERIKATAN PEMUDA Sumatera”, (1917),
Studerenden Vereeniging Minahasa, “perserikatan mahasiswa Minahasa”, (1918),
dan Jong Ambon, “pemuda Ambon”, (1918). Serikat-serikat buruh pun bahkan di
Indonesia selama masa ramai-ramainya pembentukan organisasi ini, serikat
pertama didirikan tahun 1905 untuk karyawan-karyawan perusahaan kereta api
negara yang berkebangsaan Eropa. Tapi karyawan-karyawan Indonesia segera
bergabung dan, pada tahun 1910, menjadi anggota mayoritas walupun tanpa hak
suara. Pada tahun 1908 didirikan Vereniging voor Spoor en Tramweg Personeel,
“serikat buruh kereta api dan trem”, (VSTP); keanggotaanya terbuka untuk
karyawan-karyawan berkebangsaan Indonesia dengan status yang sama dengan
karyawan-karyawan Eropa sejak awal.
Suatu tanda yang bahkan
lebih mencolok bahwa suatu zaman baru sedang menyingsing ialah lahirnya gerakan
pembaharuan islam. Latar belakang pembaharuan ini harus dicari baik di
Indonesia maupun di Timur Tengah. Islam Indonesia memang menonjol karena
keanekaragamannya. Semua kaum muslim Indonesia pada dasrnya adalah kaum
Suni(Ortodoks, dibedakan dari kaum Syiah) dan merupakan maszhab hukum Syafi’i,
yang didirikan di Timur Tengah pada akhir abad VIII dan awal abad IX Masehi.
Beberapa orang muslim timur tengah sudah berkesimpulan yang bsama abad XIX.
Jamal ad-Din al-Afghani (1839-97), Muhammad Rasyid Rida (1865-1935), dan terutama
Muhammad Abduh (1849-1905) menciptakan suatu gerakan pembaharuan yang disebut
‘moderennisme’ dengan pusatnya di Kairo.
Singapura, yang
merupakan wilayah jajahan Inggris, memainkan peranan yang penting dalam
penyebaran analisis Islam mornis tersebut ke Indonesia. Di Singapura terdapat
suatu komunitas besar orang-orang Arab (kebanyakan orang Hadramaut) dan kaum
muslim India yang lahir di sana. Kedua kelompok tersebut seringkali beribukan
orang Melayu. Komunitas muslim Singapura itu mempunyai hubungan dengan timur
tengah, banyak yang terlibat dalam perdagangan di seluruh pelosok kepulauan
Indonesia, agama Islamnya tidak begitu dipengaruhi oleh tradisis-tradisi lokal
yang telah memengaruhi Islam Melayu, dan benar-benar menyadari identitas
keagamaanya karena bersaing psecara langsung dan bergaul setiap hari dengan
orang-orang Cina.
Orang –orang
Minangkabau memainkan peranan penting dalam gerakan pembaharuan awal itu. Pada
tahun 190, surat kabar berbahasa Melayu al-imam,
“pemimpin agama “, mulai terbit di Singapura dengan menyajikan analisis
islam modernis pertama yang benar-benar mendalam mengenai masalah-masalah
sosial, agama, dan ekonomi. Di antara orang-orang muslim yang terlibat di dalam
al-imam adalah seorang ulama
Minangkabau bernama Syekh Tahih bin Jalaludin (Muhammad Tahir bin Jalalluddin
al- Azhari, 1869-1957), putra seorang Syekh Naqsyabandiyyah asala Minangkabau
yang terkenal. Syekh Muhammad Djamil Djambel (18601947) pulang dari Mekkah ke
Minangkabau pada tahun 1903 dan Haji Rosul (Haji Abdul Karim Amrullah,
1879-1945) pada tahun 1906. Keduanya adalah murid Ahmad Khatib, dan keduanya
muslim modernis. Hjis Rasul sangat terkenal karena penentanganya yang keras
terhadap adat atau terhadap siapa saja yang menentang diringan. Gerakan Islam
Modernis di Minangkabau tersebut menimbulkan perlawanan. Sekelompok kaum
bangsawan dan pejabat yang mendukung jenis kemajuan yang tampaknya akan
dihasilkan oleh gaya pendidikan dan sosial Belanda mencurigai pengaruh poara
guru agama tersebut. Mereka dipimpin oleh Datuk Sutan Maharaja. Kelompok ini
menginginkan pembaharuan terhadap adat.
Gerakan pembaharuan
agama juga menyebar ke Jawa. Yang mengambil prakarsa-prakarsa pertama adalah
komunitas Arab di Batavia, yang pada tahun 1905 mendirikan Jam’iyyat Khair, “perserikatan bagi kebaikan”. Perserikatan ini
membuka sebuah sekolah moderen yang pelajaranya diberikan dalam bahasa Melayu.
Pada tahun 1911, kaum muslim Indonesia di Jawa Barat mengambil langkah-langkah
pertama kearah pembaharuan secara hati-hati. Para ustaz Suni membentuk
Persyarikatan Ulama; tetapi mereka menerima beberapa ide pembaharuan kaum
modernis dan hanya sedikit berhubungan dengan kalangan pesantren gaya lama.
Organisasi Islam modernis yang paling penting di Indonesia berdiri di
Yogyakarta pada tahun 191. Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) berasa dari elite
agama kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1890, dia naik haji ke Mekkah dan
belajar pada Ahmad Khatib dan yang lain-lain. Dia pulang dengan tekad bulat
untuk memperbaharui islam dan menentang usaha-usaha kristenisasi yang dilakukan
oleh kaum misionaris Barat.
Pada mulanya,
Muhammadiyah hanya berkembang secara lamban. Organisasi ini ditentang atau
diabaikan oleh para pejabat, guru-guru Islam gaya lama di desa-desa,
hierarki-hierarki keagamaan yang diakui pemerintah, dan oleh
komunitas-komunitas orang saleh yang menolak ide-ide islam modernis. Dua aliran
pemikiran yang bertentangan telah muncul sebagai dasar bagi dilakukanya
peremajaan secara nasional. Kini muncul aliran pemikiran yang ketiga. Selain
aliran kalangan atas yang mencari modernisasi secara Baratyang diwakili paling
jelas oleh Budi Utomo dan aliran Islam modernis yang diwakili oleh Muhammadyah,
kini muncul ide-ide sosialis yang radikal. Pada tahun 1913, H.J.E.M. Sneevliet
(1883-1942) tiba di Indonesia. Dia memulai kariernya sebagai penganut mistik
Katolik tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial-demokrat yang revolusioner
dan aktivisme serikat buruh.
Perang Dunia I (1914-8)
menndai dimulainya zaman kegiatan politik yang bergejolak di Indonesia. Pelayaran
antara Indonesia dan Eropa terganggu oleh perang itu, komunikasi terhambat,
anggaran belanja militer kolonial meningkat sedangkan belanja untuk
kesejahteraan dikurangi, harga barang-barang naik dan kesejahteraan rakyat
Indonesia merosot. Masalah Indie weeroaar
(pertahanan Hindia) mula-mula merupakan persoalan pertahanan, tetapi segera
berkaitan erat dengan usul-usul bagi pembentukan volksraad, ”dewan rakyat”.
Gagasan pembentukan milisi paruh waktu yang terdiri atas orang-orang Indonesia
telah dipertimbangkan, dan ditolak oleh pemerintah pada tahun 1913-4,. Akan
tetapi, dengan pecahnya Perang Dunia I pada bulan Agustus 1914, gagasan tersebut dibicarakan lagi, karena
milisi merupakan kekuatan pertahanan yang lebih murah daripada memperbesar
pasukan profesional.
Partai-partai Indonesia
kini bersiap-siap untuk pemilihan anggota Volksraad. Keterbatasan Budi Utomo
segera terlihat. Organisasi ini ingin menjadikan daya tarik islam sebagai
bagian dari program partai dalam rangka menarik masa pengikutnya dan untuk
memperluas lingkup kegiatanya ke luar Jawa dan Madura. Pengaruh kiri di dalam
Sarekat Islam semakin bertambah besar karena ISDV berusaha memperoleh basis
rakyat. Pada tahun 1914, seorang pemuda Jawa buruh kereta api yang bernama
Semaun (1899-1971) menjadi anggota SI cabang Surabaya. Pada tahun 1915, dia
pindah ke Semarang, di mana Sneevliet aktif dalam Serikat Buruh Kereta Api dan
Trem (VSTP). SI kini terpecah menjadi beberapa kelompok, walaupun arti penting
sepenuhnya kelompok-kelompok tersebut belum jelas. Kelompok yang beraliran kiri
yang dipimpin oleh cabang Semarang berusaha keras mendapat kekuasaan. Di Jawa
Barat, suatu cabang revolusioner rahasia yang diberi nama ‘Afdeeling B’ (Seksi
B) atau ‘sarekat islam B” didirikan oleh Sosrokardono dari CSI dan beberapa
orang aktivis lainya pada tahun 1917.
Pada awal tahun 1918,
hasil pemilihan anggota Volksraad diumumkan. Abdul Muis dari CSI dan seorang
Minangkabau yang tadinya menjadi anggota Insulinde, Abdul Rivai, berhasil
terpilih, tetapi sebagian besar dari orang-orang Indonesia lainya yang terpilih
menjadi anggota adalah para bupati atau pejabat-pejabat lainya. Gubernur
Jenderal van Limburg Surum tidak puas dengan hasil ini. Dia menggunakan hak
penunjukkanya untuk mengangkat, antara lain, Tjipto Mangunkusumodari Insulinde
dan Tjokroaminoto dari SI dengan harapan dapat melibatkan lebih banyak kekuatan
radikal dan membawa mereka pada pendekatan yang bersifat kerjasama. Pada bulan
November 1918, gairah politik masa Perang Dunia I mencapai puncaknya ketika
tampak bahwa revolusi sosial demokrasi di Jerman seolah-olah akan meluap ke
negeri Belanda. Upaya tersebut mengalami kegagalan. Akan tetapi, ketika
hasilnya yang pasti belum diketahui Indonesia.
Akan tetapi, selama
tahun 1919, pemerintah kolonia meninggalkan paham liberal, karena van Linburg
Stirum pun mulai menyadari bahwa segala sesuatunya mulai tidak terkendalikan.
Mula-mula dia berpaling kepada ISDV. Sejak revolusi Rusia tahun 1917, ISDV
telah menjadi badan komunis yang lebih nyata. Pada bulan Mei 1919, seorang
kontrolir Belanda terbunuh di Toli-toli (Sulawesi Utara) segera sesudah Abdul
Muis dari CSI mengadakan perjalanan pidato kelilingnya di daerah itu. CSI
dianggap bertanggung jawab dan Abdul Muis ditangkap. Selanjutnya, dengan
terjadinya peristiwa penembakan di garut (Jawa Barat) pada bulan Juni 1919,
maka terbongkarlah rahasia adanya Seksi B. Sosrokardono dari CSI, bersama-sama
beberapa orang Indonesia anggota ISDV, ditangkap. Lingkungan politik berbalik
menentang radikalisme. Ironisnya, keadaan ini menempatkan ISDV dalam posisi
tangan Semaun dan seorang pemuda bangsawan Jawa yang bernama Darsono (I. 1897).
Organisasi ini masih sangat kecil (jumlah anggotanya 269 orang pada tahun
1920), tetapi sekarang sebagian besar anggotanya adalah orang Indonesia. Pada
bulan Mei 1920, organisasi ini berganti menjadi perserikatan kommunist di
India, pada tahun 1924, namanya berganti lagi menjadi Partai Komunis Indonesia.
PKI lahir.
Propaganda PKI kini
menunjukkan bahwa partai ini telah benar-benar mengindonesia. PKI kurang
menekankan doktrin-doktrin Marx dan Lenin, melainkan lebih banyak berbicara
dengan bahasa yang menarik bagi rakyat Indonesia, khusnya kaum abangan Jawa. Masyarakat
tanpa kelas dikemukakan sebagai penjelmaan kembali dari negara Majapahit yang diromantiskan,
yang dipandang sebagai zaman persamaan derajat yang mulia sebelum datangnya
bangsa Belanda dan, secara berarti, sebelum Islam. Pahlawan-pahlawan PKI adalah
para pejuang dari perang Jawa: Dipanagara, Kyai Maja, dan Sentot. Antara tahun
1918 dan 1921, serikat-serikat buruh Indonesia meraih sukses besar dalam
meningkatkan kondisi dan upah anggota-anggotanya. Ini terutama berkat gabungan
peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut berupa inflasi harga,
kurangnya tenaga buruh terampil, dan munculnya organisasi buruh yang sukses
dari partai-partai politik, terutama SI dan PKI.
SI dan PKI
terlibat pertikaian terbuka dan tak terdamaikan. Pada bulan November 1920,
surat kabar PKI yang berbahasa Belanda, Het
vrije word, ‘kata yang bebas”, menerbitkan tesis-tesis Lenin tentang
masalah-masalah nasional dan penjajahan, yang berisi kecaman-kecaman terhadap
Pan-Islam dan Pan-Asianisme. Akibatnya, terjadi pertikaian terbuka yang sengit.
Persaingan-persaingan sengit yang bersifat pribadi yang memecah gerakan politik
Indonesia kini telah mencapai definisi ideologis. Upaya-upaya yang dilakukan
oleh beberapa pemimpin untuk menyelesaikan pertikaian-pertikaian tersebut
mengalami kegagalan. Pada bulan Oktober 1921 di dirikan “Disiplin Partai”, maka
seorang anggota SI tidak mungkin lagi menjadi anggota partai lain (beberapa
pengecualian, misalanya Muhammdiyah). Anggota-anggota PKI kini dikeluarkan dari
CSI. Sebagai akibatnya, SI terpecah dalam cabang-cabang ‘Si Merah’ dan Si
Putih’. Semaun meninggalkan Indonesia menuju Uni Soviet, sedangkan
Tjokroaminoto kini masuk penjara. Pada bulan Mei 1922, Semaun kembali memasuki
kancah yang nyata-nyata merupakan malapetaka. Dia segera berusaha untuk
mendirikan kembali serikat-serikat kerja PKI serta menegakkan kembali pengaruh
PKI pada cabang-cabang dan sekolah-sekolah SI. Sedangkan pada waktu itu
Tjokroaminoto dibebaskan dari penjara, dia telah bertekad untuk melepaskan diri
selama-lamanya dari PKI. Kemudian ia mendirikan cabang partai dari ‘Si Merah’
yang kini diberi nama baru Serekat Rakyat, dan pertikaian pun terus berlanjut.
Ketika
pergerakan politik terpecah belah, maka pertikaian agama dan budaya pun
menimbulkan perpecahan-perpecahan yang semakin mendalam. Kongres partai politik
yang ada pada daerah-daerah di Minangkabau, Jawa dan daerah lainnya semakin
berpecah belah karena masalah agama seperti beredarnya surat kabar di
Surakarta, Djawi Hisworo, “ Jawa
Raja”, pada bulan Januari 1918 yang memfitnah Nabi Muhammmad sebagai pemabuk
dan pemadat. Kaum muslim menjadi sangat marah. Mereka dianggap sebagai impor
asing yang tidak disukai. Reaksi yang positif dan penting kemudian muncul dari
mantan anggota radikal Indische Partij, Suwardi Surjaningrat. Selama
pengasingan di negara Belanda dia
mencurahkan perhatiannya pada gerakan-gerakan pendidikan yang baru. Setelah
pulang dari pengasingan, dia bergabung dengan suatu kelomok mistik Jawa di
Yogyakarta yang menjadi pusat Muhammadiyah.
Kelompok mistik ini menganggap perlu diciptakannya sistem pendidikan
yang benar-benar bersifat pribumi (yakni yang non pemerintah dan non islam).
Oleh karena, itu pada tahun 1922, Suwardi yang kini memakai nama baru yaitu Ki
Hadjar Dewantara mendirika sekolah Taman Siswa yang pertama di Yogyakarta, yang
memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan seni-seni Jawa tradisional.
Sementara itu, islam modernis mencapai puncak-puncak baru, dengan
bermunculannya pendirian komunitas islam, namun pada akhirnya komunitas islam
yang berpegang teguh pada agamanya di Indonesia kini juga mengalami perpecahan
seperti halnya gerakan politik.
Pemerintah pada
saat itu berusaha melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan
islam yang semakin berkembang, yang diangganya sebagai ancaman yang potensial
terhadap rezim kolonial. Pada tahun 1905, pemerintah mempermaklumkan suatu goeroe ordonnantie, “ peraturan guru”,
untuk Jawa yang menyatakan bahwa sebelum pelajaran agama dapat diberikan, harus
ada izin tertulis dari pihak penguasa dan harus ada daftar murid-muridnya.
Namun ternyata goeroe ordonnantie tampaknya
hanya menimbulkan dampak yang terbatas. Pada tahun 1925 dikeluarkan goeroe ordonnantie yang baru. Kali ini
peraturan teersebut diberlakukan untuk seluruh Indonesia dalam beberapa hal
yang bersifat lunak. Tetapi peraturan baru itu berdampak meningkatnya kegiatan
politik dan sentiment anti pemerintah dikalangan
kaum muslim yang kuat. Dengan meningkatnya rasa permusuhan di semua pihak, maka
partai-partai politik Indonesia mendekati malapetaka. Persaingan merebut
pengikut penduduk desa antara cabang-cabang SI dan cabang-cabang Serekat Rakyat
telah menyeret PKI ke dalam suatu lingkungan yang keras dan anarkis. Tindakan
kekerasan di wilayah pedalaman Jawa semakin meningkat pada awal tahun 1924 yang
dilakukan oleh PKI, sehingga pengawasan pemerintah semakin diperketat, dan
pimpinan PKI yang tersisa sering ditahan. PKI akhirnta tergelincir dalam
pemberontakan ketika organisasi ini tidak dapat memutuskan apakah harus
membubarkan Serekat Rakyat dalam rangka mempertahankan sifat proletarnya
ataukah tidak. Pada bulan Desember 1924 diputuskan untuk bersiap-siap
mengadakan pemberontakan. Pimpinan PKI di Jawa di kecam oleh Komintern dan para
pemimpinnya sendiri yang berada di pengasingan terutama Semaun dan Tan Malaka.
Pada bulan Desember 1925, para pemimpin PKI yang masih tersisa memutuskan untuk
melancarkan pemberontakan. Pemerintah berusaha menangkap sebagian besar
pimpinan pusatnya, tetapi banyak yang berhasil melarikan diri. Pada bulan
November 1926 pihak plisi berhasil menembus jalur-jalur hubungannya, banyak
pimpinan cabang PKI berhasil ditangkap. Pemberontakan PKI meletus di Banten,
Batavia, dan Priangan pada malam hari, 12 November 1926. Di Batavia,
pemberontakan dapat ditumpas pada hari berikutnya, sedangkan diseluruh banten
dan Priangan pada bulan Desember, seorang Eropa tewas dan setelah itu
pemberontakan di Jawa benar-benar ditumpas, meletus pemberontakan di Sumatera
pada tanggal 1 januari 1927. Pertempuran disini lebih berat, tetapi
pemberontakan itu dapat dipadamkan pada tanggal 4 Januari. Seorang Eropa
lainnya terbunuh oleh kaum pemberontak. Kemudian PKI sudah mati, dan tidak
bangkit kembali selama hampir dua puluh tahun.
Tahapan pertama
kebangkitan nasional berakhir ketika goncangan yang ditimbulkan oleh
pemberontakan PKI dan kegagalan totalnya tersebar diseluruh Indonesia.
Kehidupan rakyat Indonesia benar-benar telah berubah terutama pada daerah
pemberontakan tersebut. Bagaimanapun juga, ada tanda-tanda yang lebih memberi
harapan. Generasi politik Indonesia berikutnya akan melibatkan beberapa orang
yang lebih realistis. Nantinya para pemimpin Indonesia akan menyadari adanya
hal-hal apa yang bisa mempersatukan mereka dan hal-hal ini dapat dianggap lebih
penting dari pada masalah-masalah yang memecah-belah mereka. Sebagai akibat
dari penemuan anggapan tersebut nasionalisme yang sungguh-sungguh segera lahir.
Hal ini menjadi suatu langkah baru, beberapa pemimpin akan segera mulai
berpikir tentang seluruh rakyat pribumi Indonesia sebagai pengikut-pengikut
mereka dan sebuah negara nasional Indonesia sebagai tujuan mereka terhadap hal
ini, setidak-tidaknya banyak yang akhirnya akan menyepakati.
2.3.3 Represi dan Krisis Ekonomi (1927-1942).
Antara tahun
1927 dan runtuhnya negara jajahan Belanda oleh Jepang pada tahun 1942,
kebangkitan nasional Indonesia mulai bergaya kurang semarak. Dalam masalah
politik, gerakan anti-penjajahan melanjutkan langkah-langkah yang tidak
menghasilkan apa-apa. Rezim Belanda memasuki tahapan yang paling menindas dan
paling konservatif dalam sejarahnya pada abad ke-20. Akan tetapi ada beberapa
aspek pada waktu itu yang telah menyiapkan panggung peristiwa-peristiwa yang
akan terjadi setelah tahun 1942. Pertama, semua harapan bagi terjalinnya kerja
sama dengan Belanda benar-benar sudah hancur, sehingga satu-satunya taktik yang
dimungkinkan untuk masa mendatang hanyalah perlawanan terhadap Belanda. Kedua,
perpecahan-perpecahan yang mendalam di kalangan elite Indonesia yang sangat
kecil jumlah umumnya tidak mengalahkan kesepahaman bahwa tujuan utama upaya
politik adalah pembentukan negara Indonesia yang otonom atau merdeka. Dengan
demikian, nasionalisme menempati posisi ideologis yang paling berpengaruh.
Ketiga, demi kepentingan persatuan yang maksimal diantara kelompok-kelompok
budaya, agama, dan ideology di Indonesia. Keempat, adanya kesadaran diantara
para pemimpin agama bahwa mereka menghadapi banyak tantangan. Yang terakhir,
tokoh-tokoh yang muncul sebagai pemimpin-pemimpin Indonesia pada masa itu
sangat penting karena, ketidakberhasilan mereka menjadi generasi pertama dalam
sejarah Indonesia untuk memimpin seluruh kepulauan ini sebagai bangsa yang
bersatu dan merdeka. Di antara pemimpin-pemimpin baru yang tampil sesudah
hancurnya PKI, maka perhatian utama tertuju pada orang yang akhirnya menjadi
presiden pertama Indonesia merdeka yaitu Soekarno. Setelah Soekarno
menyelesaikan sekolahnya di Bandung, Soekarno bertemu dengan Douwes Dekker,
Tjipto Mangungkusumo serta Ki Hajar Dewantara, ketiga orang itu telah memimpin
Indiche Partij radikal yang lebih banyak berpikir dalam kerangka nasionalisme
Indonesia dari pada kerangka islam. Pengaruh mereka terlihat dalam karier
Soekarno dengan membentuk nasionalisme yang tidak mengandung komitmen tertentu
terhadap islam.
Pada tanggal 4
Juli 1927, Soekarno dan Algeemene Studieclub yang sebelumnya dibetuk oleh
Soekarno dan dr. Sutomo di Surabaya telah memprakarsaipembentukan sebuah partai
politik baru, Perserikatan Nasional Indonesia, dengan Soekarno sebagai
ketuanya. Pada bulan Mei 1928 nama partai diubah menjadi Partai Nasional
Indonesia (PNI). Tujuan dari PNI adalah kemerdekaan bagi Kepulauan Indonesia
yang akan dicapai dengan cara non kooperatif dan dengan organisasi masa. Inilah
partai politik pertama yang beranggotakan etnis Indonesia, semata-mata
mencita-citakan kemerdekaan politik, berpandangan kewilayahan yang meliputi
batas Indonesia sebagaimana ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan
berideologi nasionalisme sekuler. Pada akhir tahun 1927, tampaknya Soekarno
sudah berhasil merealisasikan suatu front bersatu dari organisasi-organisasi
politik Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut bergabung bersama PPPKI (Pemufakatan
Perhimpuna-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Gagasan nasionalisme
seluruh Indonesia sebagai ukuran umumkini muncul semakin kuat. Namun pada
akhirnya, perbedaan-perbedaan tujuan, ideologi, dan kepribadian nyata telah
memecah belah gerakan-gerakan tersebut. Di negara Belanda pun juga muncul suatu
kelompok kepemimpinan baru dikalangan
mahasiswa Indonesia. Pada tahun 1908 didirikan
Indische Vereeniging (persatuan Hindia). Setelah banyaknya
masalah-masalah yang timbul akhirnya, pada tahun 1929, pemerintah mengambil
tindakan terhadap PNI dengan menangkap Soekarno dan pemimpin-pemimpin lainnya.
Pada tahun 1930 Soekarno melakukan pidato pembelaan yang cemerlang menyuarakan
ulang komitmen, kalau bukan kedalaman intelektual. Soekarno dihukum dengan
tuduhan membahayakan ketertiban umum dan dijatuhi hukuman penjara empat tahun
di penjara Sukamiskin, Bandung. Dengan ditangkapnya dan dipenjarakan
pimpinannya, maka lumpuhlah PNI dan berhentilah kegiatan-kegiatannya. Tanpa
Soekarno, PNI nyaris tidak ada apa-apanya. Pada bulan Oktober 1928,
kegiatan-kegiatan budaya dan politik kearah persatuan Indonesia bergabung
secara resmi pada Kongres Pemuda yang diadakan di Batavia. Di dalam Sumpah
Pemuda, Kongres menyetujui tiga pengakuan, yaitu satu tanah air, Indonesia;
satu bangsa, Indonesia; dan satu bahasa, bahasa Indonesia. Dalam memperingati
kongres ini, Yamin menulis sekumpulan sajak yang diterbitkan pada tahun 1929
dengan judul Indonesia Tumpah Darahku.
Sajak-sajak tersebut mencerminkan keyakinan dikalangan kaum terpelajar muda
bahwa pertama-tama mereka adalah orang Indonesia, kedua orang-orang yang
berasal dari daerah-daerah yang ada di Indonesia.
Dalam konteks
ekonomi yang ada di dalam bangsa Indonesia hidup tiba-tiba berubah karena
depresi ekonomi melanda dunia pada tahun 1930-an. Sebagaimana ada gejala krisis
yang akan terjadi di negara-negara industri. Harga beberapa produk Indonesia telah mengalami
penurunan dan pasar ekspor seperti pasar ekspor gula menciut karena produksi
gula meluas dimana-mana, terutama di Inggris dan Jepang. Indonesia amat
bergantung pada ekspornya, terutama produk minyak bumi dan pertanian. Tidak
hanya pada produksi itu saja, produksi karet, kopi, dan tembakau juga
menghadapi bencana. Krisis ekonomi di kedua daratan ini yang berakibat
diberlakukannya kebijakan proteksi secara menyeluruh, ditambah dengan
harga-harga yang menurun, tiba-tiba menjerumuskan Indonesia ke dalam suatu krisis ekonomi. Dampak krisis ini
terhadap bangsa Indonesia jelas sangat serius. Memang benar, seperti yang
dikatakan oleh beberapa pengamat bahwa para pekerja Indonesia cenderung kembali
ke pertanian untuk menyambung hidup, namun juga benar bahwa banyak diantaranya
tidak memiliki kesempatan itu sama sekali. Sebagian lahan tidak lagi digunakan
untuk produksi gula dan digunakannya kembali produksi padi, tetapi peningkatan produksi
padi tidak sepenuhnya dapat menyediakan keperluan makanan dan pekerjaan bagi
populasi yang terus menerus bertambah. Seperti halnya tidak ada alasan untuk
optimis dalam bidang ekonomi pada tahun 1930-an , demikian pula tidak ada
alasan yang sama di bidang politik. Karena pemerintah Belanda menentang semua
bentuk nasionalisme dan juga tidak ingin melihat Volksraad (dewan rakyat)
memainkan peranan penting. Setelah beberapa tahun sudah dilewati dengan
bermunculannya berbagai organisasi yang ada di Indonesia, ketika kaum
terpelajar kota sedang berusaha mencari bentuk-bentuk baru bagi organisasi
politik dalam menghadapi oposisi Belanda, gerakan politik yang terbesar di
Indonesia didirikan oleh suatu jenis kepemimpinan seperti didirikannya PKN
(Pakempalan Kawula Ngayogyakarta “ perkumpulan warga Yogyakarta). Pada tahun
1951 bangkit kembali setelah jatuh kemudian menjadi suatu partai lokal Yogya
dengan nama Gerinda (Gerakan Rakyat Indonesia). Kemudian muncul juga
gerakan-gerakan nasionalis diantaranya PII (Partai Islam Indonesia), PNI Baru,
dan lainnya kemudian dari organisasi-organisasi nasionalis Indonesia yang
penting kecuali PNI baru membentuk GAPI
(Gabungan Politik Indonesia).
Selanjutnya,
masalah pertahanan yang telah mengilhami bangsa Indonesia untuk mengusulkan
Volksraad pada tahun 1914-1918 mengakhiri sejarah Volksraad. Pemerintah sedang
memperbesar kekuatan militernya. Diantara tenaga-tenaga baru pada angkatan
perang colonial yang professional itu
terdapat tokoh yang kemudian hari menjadi presiden kedua Indonesia seorang
pemuda yang bernama Soeharto. Belanda juga ingin membentuk suatu milisi yang
terdiri atas orang-orang Indonesia. Akan tetapi, kini kekuasaan Belanda berada
pada saat-saat terakhirnya. Pada tanggal 8 Desember 1941 (7 Desember di Hawaii),
Jepan menyerang Pearl Harbor, Hongkong, Filipina, dan Malaysia. Negara Belanda
segera mengikuti jejak sekutu-sekutunya dengan menyatakan perang terhadap
Jepang. Pada tanggal 10 Januari 1942, penyerbuan Jepang ke Indonesia dimulai.
Pda akhir bulan itu, balatentara Jepang menghancurkan armada gabungan Belanda,
Inggris, Australia, dan Amerika dalam pertempuran di laut Jawa. Tidak
mengherankan apabila rakyat Indonesia memberiikan sedikit sekali bantuan kepada
pasukan colonial yang terancam dan kadang-kadang dengan senang hati berbalik
melawan orang-orang sipil dan serdadu-serdadu Belanda. Pada tanggal 8 Maret
1942, pihak Belanda di Jawa menyerah dan Gubernur Jenderal ditawan oleh pihak
Jepang. Berakhirlah kekuasaan Belanda di Indonesia. Ia hanya meninggalkan
sedikit sahabat dikalangan rakyat Indonesia. Bahkan kalangan elite yang telah
mengharapkan berlangsungnya evolusi melalui kerja sama ini benar-benar
menyangsikan niat baik pihak Belanda. Dan diantara orang-orang Indonesia yang
ditangkap diseluruh kepulauan ini terdapat suatu generasi pemimpin yang
memandang kolonialisme Belanda sebagai beban berat yang tidak dapat ditahan
lagi.
2.4 Hasil dari Kemunculan Konsepsi Indonesia serta
Pengaruhnya Bagi Bangsa Indonesia.
Dari uraian yang telah
dipaparkan sebelumnya, telah disebutkan suatu keadaan yang berbeda pada saat
abad XX yang biasa disebut dengan abad penjajahan baru. Di abad inilah secara
disadari atau pun tidak oleh orang Indonesia, bahwa karena suatu tekanan yang
didapati pihak Belanda yang dianggap memiliki hutang yang besar kepada rakyat
Indonesia, sudah seharusnya Belanda memberikan suatu kemudahan kepada orang
Indonesia dalam menjalankan urusanya. Seiring perkembangan waktu, pemikiran
manusiapun juga semakin berkembang. Dengan diberikan beberapa aspek kemudahan
kepada Indonesia meski dirasa tidak seberapa namun sedikit banyak juga
memberikan pengaruh terhadap orang Indonesia apalagi dalam bidang pendidikan.
Selain itu seiring berjalanya waktu, ide suatu konsepsi akan suatu negara yang
independen semakin seperti dapat tergambarkan, meskipun hanya sebatas angan.
Ini cukup memberikan motivasi dan harapan yang besar bagi rakyat Indonesia.
Hasil dari munculnya
konsepsi ini begitu luar biasa, hal mendapat tanggapan yang beragam bagi bangsa
Indonesia. Selain dirasa sebagai angin segar bagi Indonesia kedepanya, namun
banyak terjadi ketimpangan sosial dengan munculnya berbagai organisasi rakyat
yang dengan masing-masing tujuan dan landasanya. Hal ini juga diiringi berbagai
masalah yang harus dihadapi Indonesia di dalam berbagai bidang. Namun hal
tersebut tidak menumbangkan motivasi bangsa Indonesia meski hanya sekedar
penggambaran yang abstrak saja.
Dalam pembicaraan hal
ini tentu saja akan ada pengaruhnya bagi masyarakat Indonesia, entah dalam
sekala besar atau pun kecil. Namun apabila dilihat dan dipahami secara mendalam
nampaknya dapat dikatakan bahwa dengan munculnya konsepsi Indonesia, sebagai
awal atau langkah pertama bagi masyarakat Indonesia untuk membangun pondasi
suatu bangsa. Setidaknya dengan hal ini orang Indonesia lebih memiliki
kehidupan yang lebih terbuka dan belajar untuk membentuk organisasi-organisasi
gerakan kelompok-kelompok masyarakat. Dari hal ini lah masyarakat semakin
belajar dan semakin tahu akan komponen-komponen masyarakat beserta beberapa
masalah dihadapi sebagai pelajaran yang berharga juga. Intinya dengan munculnya
konsepsi Indonesia membawa pengaruh yang mejadi suatu gambaran awal negara
merdekan dan sebagai cambuk motivasi untuk mendapatkanya.
BAB
3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Konsep
dapat dianggap suatu rancangan perencanaan, ide atau sesuatu yang masih abstrak
dalam pemikiran yang kedepannya tentu ingin untuk diwujudkan menjadi sesuatu
yang nyata dan ingin dirasakan. Dan dalam pengertian lengkapnya dari kata dasar
konsep yang dalam hal ini adalah menjadi konsepsi diartikan sebagai rancangan
atau cita-cita yang telah ada dalam pikiran. Dari pengertian-pengertian
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsepsi adalah suatu penggambaran ide
yang abstrak dan didalamnya berisi suatu cita-cita yang tentunya dalam waktu
kedepan diharapkan menjadi sesuatu yang konkret atau nyata dan dapat dirasakan
keberadaanya serta manfaatnya bagi individu ataupun orang banyak tergantung ide
apa yang ingin di capai.
Republik Indonesia
disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara
yang dilintasi garis khatulistiwa
dan berada di antara benua Asia
dan Australia serta antara Samudra Pasifik
dan Samudra Hindia.
Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau. Nama alternatif yang biasa
dipakai adalah Nusantara.
Dengan populasi sekitar sebesar 260 juta jiwa pada tahun 2013, Indonesia adalah
negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim
terbesar di dunia, sekitar 230 juta meskipun secara resmi bukanlah negara Islam.
Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik,
dengan Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah
dan Presiden yang dipilih
langsung.
Setelah begitu lama
bangsa Indonesia mendapatkan perlakuan penjajahan yang begitu menyiksa dari
Belanda, namun pada saat tertentu seiring dengan kemajuan pemikiran serta
semakin berkembangnya pemikiran manusia. Hal tersebut juga memberikan andil
pengaruh yang begitu luar biasa terhadap keadaan bangsa Indonesia yang pada
saat itu sedang mendapatkan penjajahan dari bangsa lain yaitu Belanda. Dalam
perkembanganya, akrinya bangsa Indonesia sedikit demi sedikit mendapatkan suatu
penggambaran yang manis dari suatu negara yang pada saat itu masih menjadi
suatu bayangan yaitu Indonesia. Uraian penggambaran dari munculnya konsepsi
Indonesia dapat digambarkan dalam beberapa tahapan penggambaran.
Karena munculnya
konsepsi tersebut, orang Indonesia secara umum setidaknya memiliki suatu
gagasan meski masih abstrak, namun sudah memberikan harapan bahwa dapat kiranya
bangsa Indonesia untuk mendapatkan kebebasan dengan negara yang merdeka.
3.2
Saran
Dalam apapun
perencanaan untuk membuat sesuatu, konsepsi adalah suatu langkah besar yang
harus diadakan demi keberlangsungan hal tersebut untuk menjadi nyata. Oleh
karena itu, hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih supaya kedepanya apa yang
terwujud adalah apa yang diharapkan.
Sebagai bangsa yang
besar, sudah sepantasnya selalu mengingat dan mengenang akan kesejarahanya.
Munculnya konsepsi Indonesia, merupakan suatu peristiwa yang sangat penting
dalam sejarah bangsa Indonesia. Dari hal itu tertera dimana awal tergambarnya
suatu konsepsi negara yang sedang terjajah untuk mengambarkan suatu negara
sehingga memunculkan suatu upaya dan usaha untuk mewujudkan negara tersebut
diawali dengan pergerakan yang dilakukan masyarakat Indonesia. Hal inilah yang
harus menjadi perenungan supaya untuk selalu menjaga dan memelihara apa yang
telah dicapai dan telah digenggam dan diupayakan untuk membawanya untuk
memajukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004. Jakarta:
PT. Ikrar Mandiriabadi.
Simbolon, Parakitri T. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia.
[30 Agustus 2014].
Setianto, Yuni. 2013. Nasionaldan Kesadaran Nasional Indonesia. www.NASIONALISME
DAN KESADARAN NASIONAL INDONESIA _ Asosiasi Widyaiswara Pendidikan
Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial.htm. [30 Agustus 2014].